Sabtu, 22 September 2018

15 Paragraf yang Dibayar Mahal

Tulisan ini tadinya buat dimasukin ke rubrik Di Balik Berita Kompas.id. Berhubung aku masih cawar dan enggak boleh nulis feature, ya tak post di sini aja deh hehe.

Sepuluh orang cawar dari angkatan 2018 yang diminta bergabung dalam Tim Lebaran. Saya (foto pada tablet) tidak hadir karena sebelum Tim Lebaran selesai bertugas, saya terkena cacar air. Itu untuk cerita lain....
Selasa (5/9/2018), lewat tengah malam, saya tersenyum girang setelah membaca e-paper Kompas edisi hari itu dari aplikasi Kompas.id. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya hasil reportase saya—yang masih berstatus calon wartawan—dimuat di harian Kompas yang menurut para senior menjadi salah satu referensi utama para elite pembuat kebijakan.

Dari total 21, sebanyak 15 paragraf dalam artikel berjudul “Sebagian Penumpang Batalkan Tiket” tersebut adalah tulisan saya. Ada rasa bangga yang mendalam karena 15 paragraf itu bisa dibaca pelanggan Kompas di seluruh Indonesia. Namun, di balik 15 paragraf itu, ada pengalaman yang mungkin sampai hari ini masih saya sesali.

Artikel pertama saya (E03) yang dimuat di harian Kompas edisi Selasa (5/6/2018)


Sejak 2 April 2018, saya dan teman-teman cawar telah menerima pendidikan dan pelatihan jurnalistik selama lebih dari dua bulan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kompas. Kami sudah turun ke lapangan untuk meliput, tetapi artikel hasil reportase kami hanya dievaluasi di kelas, tidak diterbitkan di harian ataupun Kompas.id. Karena itu, mendapatkan kesempatan merasakan suasana redaksi lebih cepat membuat saya bersemangat.

Mulai Senin (4/9/2018) hingga 15 hari berikutnya, 11 orang termasuk saya dari total 24 calon wartawan (cawar) hasil rekrutmen 2018 diminta bergabung dalam Tim Lebaran yang mengambil tema Pulang ke Indonesia. Tim ini bertugas mengisi pemberitaan di harian selagi sebagian wartawan mengambil cuti selama Ramadan menjelang Lebaran. Koran harus tetap terbit.

Hari itu saya ditugasi memantau pergerakan pemudik di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sekitar pukul 09.30 WIB, saya berangkat dari kost dengan skuter matic Honda Vario 125 cc warna merah yang sudah menemani perjalanan saya sejak duduk di bangku SMA.

Sebagai anak rantau, saya belum hafal jalanan di Jakarta. Aplikasi Google Maps menjadi andalan saya saat harus berjibaku dengan lalu lintas Ibu Kota yang rumit nan semrawut. Keberadaan ‘kantong’ di sisi kiri pada body bagian depan Vario, tepatnya di bawah setang sangat bermanfaat untuk meletakkan ponsel pintar yang menjadi penunjuk arah.

Kantong kiri pada body bagian depan skuter matic Honda Vario 125 cc milik saya. Kantong ini saya gunakan untuk meletakkan ponsel yang menjalankan aplikasi Google Maps untuk memandu saya sampai ke tempat liputan.
Perjalanan dari kost sampai Stasiun Pasar Senen berhasil saya tempuh dengan selamat. Namun, tentunya Google Maps tidak bisa memberi tahu di mana letak parkiran sepeda motor, dan saat itu baru kedua kalinya saya pergi ke Stasiun Pasar Senen. Oleh Google Maps, saya diarahkan ke pintu selatan stasiun yang dikhususkan untuk jalur masuk mobil.

Melihat banyak motor yang diparkir di depan pintu masuk, berdekatan dengan bus-bus Transjakarta, saya memarkir motor di situ. Saya cukup heran, mengapa stasiun ini tidak punya parkiran resmi.

Setelah memarkir Vario di ‘lahan parkir’ itu, saya melepas helm dan jaket, kemudian meletakkannya di boks yang dipasang pada bagian belakang skuter. Dengan tenang dan santai, saya berjalan masuk ke dalam stasiun. “Duh, sakit perut. Ke toilet dulu ah sambil baca e-paper,” pikir saya setelah berjalan kira-kira 100 meter.

Deg! Jantung saya mau copot rasanya menyadari ponsel saya tidak ada di saku celana. “Astaga! Masih di kantong kiri Vario!” pikir saya. Sontak saya berlari sekencang mungkin menuju ‘lahan parkir’ tadi, hanya untuk melihat kantong kiri Vario saya kosong.

Sambil masih tersengal-sengal saya membuka tas, meraba kantong celana, membuka jok motor, dan membuka boks tempat helm dan jaket. Ponsel saya tetap tidak ada. Saya mencoba meneleponnya dengan ponsel saya lainnya, tetapi tidak terasa ada getaran di kantong maupun tas.

Boks di belakang skuter matic untuk menyimpan helm dan jaket
Melihat saya panik, juru parkir bertanya apa yang saya cari. Saya bilang ponsel saya, tadi saya tinggalkan di kantong kiri skuter. “Wah, tadi ada orang mau parkir di sebelah motor Mas, sih. Tapi terus dia pergi lagi,” ujar juru parkir itu. Sudah dipastikan, ponsel saya dicuri.

Saya terus menghubungi ponsel saya yang raib itu, bahkan mengirim pesan yang berbunyi “Tolong kembalikan HP saya, saya beri Anda Rp 1 juta.” Melalui fitur Find My Device yang dimiliki setiap akun Google, saya mencoba mendapatkan lokasi ponsel saya tersebut. Ternyata ponsel saya telah dibawa ke Jl. Tanah Tinggi.

Tidak ada jawaban. Dengan segera saya tancap gas menuju lokasi yang dideteksi Google Maps. Sampai di Jl. Tanah Tinggi, saya malah kebingungan karena jalan itu lebih ramai dari yang saya kira. Saya kembali menghubungi nomor ponsel saya. Terlambat, ponsel sudah dinonaktifkan. Google tidak lagi dapat melacak lokasi ponsel saya.

Masih duduk di atas jok Vario, dengan berat hati saya menelepon customer service XL dan meminta nomor saya diblokir. Sudah lewat pukul 10.00 WIB dan saya belum dapat berita. Tentu saja dalam kondisi apa pun, saya pikir, profesionalisme sebagai wartawan tetap harus dipenuhi.

Fitur Find My Device pada Google mengizinkan pengguna melacak lokasi ponsel yang hilang selama ponsel tersebut aktif. Ponsel saya terakhir terlacak di lokasi yang ditandai di sebelah kanan peta.


Saya pun kembali ke Stasiun Pasar Senen dengan perasaan getir, memarkir Vario di ‘lahan parkir’, dan masuk ke stasiun. Sakit perut sudah digantikan sakit hati dan sesal.

Saat menemui Wakil Kepala Stasiun Pasar Senen, Darwoto, saya menyempatkan bertanya kenapa di stasiun itu tidak ada parkiran motor resmi. “Lha? Kan di pintu utara ada parkiran motor, Mas. Yang di selatan itu buat pintu masuk mobil,” jawab Darwoto.

Saya melongo saja, kemudian merespons dengan ‘Ooooh’ panjang. “Dasar Bodoh!” pikir saya pada diri sendiri. Setelah mewawancarai Darwoto, segera saya kembali ke ‘lahan parkir’ dan memindahkan skuter ke lahan parkir motor yang sejati. Nasi sudah menjadi bubur, liputan harus tetap jalan.

Untungnya, saya larut dalam liputan. Rasa sesal diganti heran melihat banyaknya pemudik yang menunggu sambil ngemper, menggelar koran sebagai alas duduk dan bahkan tidur untuk anak-anaknya selagi menunggu jadwal keberangkatan. Antrean panjang pembatalan tiket yang sampai 800 nomor antrean juga membuat saya nggumun. Sebab, mudik tidak membudaya dalam keluarga saya yang tidak ikut merayakan Lebaran.

Anak-anak tidur beralaskan koran di Stasiun Pasar Senen, Senin (4/6/2018).


Di sela-sela liputan, saya menyempatkan diri melapor kehilangan ponsel di Kepolisian Sektor (Polsek) Senen. Barangkali, kepolisian punya alat yang dapat mendeteksi nomor IMEI ponsel.

Bapak polisi yang menerima saya saat itu sudah pesimistis lebih dulu. “Enggak bisa, Mas. Biasanya kalau HP hilang, ya direlakan saja. Kami tidak punya alat untuk melacak,” kata dia. Saya pun meninggalkan Polsek Senen dengan kepala tertunduk.

Setelah liputan dan menulis hasil reportase, saya kembali ke kost. Agak hampa rasanya tidak memegang ponsel saya yang sudah hilang. Bukannya ponsel itu mahal, tetapi datanyalah yang mahal. Semua foto momen-momen masa kuliah di Yogyakarta, bahkan saat hari saya dinyatakan lulus sidang skripsi hingga wisuda ada di ponsel itu. Semua foto itu belum di-back-up.

Yang berlalu biarlah berlalu, pikir saya. Toh, apa yang kita genggam erat suatu saat akan diambil dari kita. Setidaknya, malam itu saya bisa tersenyum melihat sebagian besar tulisan saya dimuat di Kompas, harian yang sudah saya baca sejak duduk di bangku SD. (E03)

Para calon wartawan Tajuk 18 berfoto di kelas setelah memberi kue ulang tahun pada ketua kelas kami, Sharon Patricia.

Selasa, 13 Februari 2018

Tata: Good Things in Worst Situations #2

Aku bertemu Tata hari Senin siang (5/2). Sehari sebelumnya aku mengikuti dua misa sore, di Banteng dan Kotabaru. Seharusnya aku berkunjung ke rumahnya Minggu malam, tetapi karena hujan, kami mengubah jadwal.

Penderitaan. Romo di Banteng mengatakan dalam khotbahnya, ia tidak tahu mengapa penderitaan itu ada.

Tentu aku bukan satu-satunya orang yang pernah melontarkan kata-kata ‘Mengapa aku, ya Tuhan?’ Namun, Romo juga meyakinkan, penderitaan bisa dihadapi. Aku sendiri menolak percaya bahwa Tuhan memberikan penderitaan kepada umat-Nya untuk menguatkan, mendewasakan mereka. Aku rasa Tuhan tidak segitunya menganggur sampai iseng mengerjai anak-Nya. Hidup bukan ITS, tidak perlu ospek artifisial untuk dipantaskan jadi warga surgawi. Lagi pula, sebagai seorang Katolik, aku percaya Tuhan sudah memperbarui janji-Nya.

Tapi itu untuk bahasan lain.

Penderitaan adalah kata yang melekat di pikiranku dalam perjalanan ke rumah Tata. Aku, seorang pesimis (akut), tidak berani membayangkan kehilangan anggota tubuh paling penting yang menopang kemaslahatan diri sendiri. Bagaimana frustrasi yang dirasakan, berapa kali harus menangis sepanjang hidup, dan segala manifestasi kesedihan lainnya karena kehilangan.

--

Ternyata, Tata sama sekali bukan aku.

“Namaku Natasha Chairunnisa Kuswanto, lahir Sleman 17 Oktober 1996. Aku seorang optimis,” katanya. Selama ini aku salah besar. “I tend to see the good things in the worst situations,” lanjutnya.

Seleranya akan “oom-oom” macam tokoh Suripto (Teuku Rifnu Wikana) di film antologi gombalan receh Dilan 1990 mendorongku berpikir bahwa dia sudah putus asa dengan laki-laki muda seusianya. Begitu juga dengan beberapa pengalaman lain yang membuatku berpikir sebaliknya. Tetapi sudah jelas, Tata mendeklarasikan dirinya seorang optimis, dan dia benar.

Terlanjur ‘terjebak’ di Ilmu Hubungan Internasional, Tata merasa hasratnya yang sejati terletak di dunia perfilman. Semua bermula dari film Modus Anomali karya Joko Anwar. “Film itu jenius, seperti menghipnotis aku untuk kerja di (dunia) film,” kata Tata. Ia sendiri sudah pernah menjadi ketua komunitas film HI CINE di KOMAHI.

Orang tua Tata tidak menganjurkannya kuliah perfilman. Akhirnya Tata memilih jurusan Sastra Indonesia sebagai pilihan kedua SNMPTN “biar kelempar dari HI.” Rencananya, setelah lulus dari HI, dia mau belajar perfilman dan membangun jejaring. Sebagai rencana jangka pendek, Tata ingin bekerja di salah satu media showbiz.

Bukan Perubahan Besar

Tangan dan lengan kanan Tata utuh, tetapi tidak bisa digerakkan dan terlihat mengalami atrofi. Warna kulitnya juga lebih pucat daripada tangan kirinya. Keadaannya kini disebabkan oleh kecelakaan pada pertengahan 2013, semasa ujian kenaikan kelas.

Siang itu Tata sedang berkunjung ke rumah temannya di daerah Ngampilan, Yogyakarta. “Seperti biasa, masku njemput aku, kan. Terus pas di jalan, aku nggak inget jelas. Yang aku lihat waktu itu cuma mobil berhenti, suara rem, terus aku udah pingsan.”

Ketika kesadarannya kembali, Tata sudah berada di semacam apotek, kemudian dibawa ke RS PKU Muhamadiyah. “Selama di jalan aku udah ngerasa tangan kananku nggak bisa gerak. Nyeri dan geringgingan (kesemutan) hebat gitu,” kata Tata. Ternyata bahu kanan dan lengannya bengkak.

Menurut versi masnya, mobil yang dilihat Tata ngerem mendadak untuk menghindari bapak pengendara sepeda yang lewat. Alih-alih berhasil mengindar, mereka malah menabrak si bapak yang kemudian juga dibawa ke RS PKU karena luka-luka ringan.

Setelah tiga hari menunggu dokter datang di rumah sakit, diagnosis yang diberikan adalah “sarafnya kejepit. Tunggu bengkaknya reda aja, nanti bisa digerakkan lagi.”

Setelah berganti ke dokter yang praktik di RS Sardjito UGM, diagnosis yang diberikan adalah brachial plexus injury, atau cedera jaringan saraf yang menyambung dari spinal cord, cervicoaxillary canal di sekitar leher, menyambung ke first rib, dan ketiak. (No, I did not google it. It’s basic knowledge and everyone knows.) Diperkirakan karena benturan dengan pinggiran helm ke bahu kanan saat jatuh.

Tiga bulan masa istirahat hingga setahun, perkembangan lengan kanan Tata nihil, pun setelah melakukan terapi dan pengobatan alternatif. Tidak ada kemajuan. Selepas bengkaknya reda, ternyata lengan kanannya tidak juga bisa digerakkan. Dokter ketiga (spesialis saraf) yang dikunjungi Tata mengatakan lengannya sudah dibiarkan terlalu lama dan susah untuk dinormalkan kembali.

“Bisa, tapi harus suntik tiap hari. Obatnya mahal dan aku nggak mau membebani orang tuaku,” kata Tata.

Tata sempat menangis mendengar ‘putusan’ dokter, bukan karena harus menerima kenyataan mengenai lengan dan tangannya. “Aku sedih lebih karena memupuskan harapan orang-orang yang masih semangat supaya aku sembuh. Papaku misalnya. Aku sendiri sebenernya udah rela, udah nyaman juga, udah bisa ngapa-ngapain. Aku nggak merasa ada perubahan yang besar banget dari hidupku,” katanya.

Tindakan medis terakhir yang dijalani Tata adalah cangkok otot paha ke bahu dan lengannya di tahun 2016. Hasilnya pun tidak jauh berbeda, hanya kini terlihat bekas-bekas jahitan di leher dan bahu, serta lengan bawahnya. Namun, ototnya di bahu dan lengannya lebih kuat.

Tata bukan berarti putus asa. Ia lebih merasa pasrah sembari berusaha untuk beradaptasi dengan kondisinya yang baru.

Melampaui Frustrasi

Aku mengantisipasi akan ada sedikit duka Tata yang menyembul kalau bercerita tentang tangannya, tetapi, “Aku udah lupa perasaan sedihnya gimana.” Sudah lupa perasaannya setelah tangan kanannya tidak bisa digerakkan. Bukan berarti menolak kesedihan untuk datang, hanya saja dia segera lupa.

Yang dia ingat, masa tiga bulan setelah kecelakaan memang cukup berat. Tata harus melewatkan dua ujian kenaikan kelas (dirapel sebelum UN). Dia harus diam di rumah saja karena sakit kepala terus menerus. Lengannya masih terlalu sensitif sehingga sakit kalau beraktivitas.

Memang frustrasi tidak dapat sepenuhnya Tata hindari. Banyak kesehariannya yang tidak bisa lagi dilakukannya sendiri. Hobi fotografinya terhambat karena tidak lagi bisa memegang kamera. Mandi harus dimandikan. Mengetik juga susah dengan satu tangan saja. Menulis juga harus dibiasakan dengan tangan kiri. Ia butuh waktu berbulan-bulan untuk berlatih di sela-sela kegiatannya, termasuk di kelas. Membuat garis saat pelajaran matematika sudah jadi tantangan tersendiri. Tata juga harus pinjam catatan teman untuk disalinnya sepulang sekolah.

Tapi bagaimana? Apa tidak susah?

“Untuk mengatasi frustrasi, aku pretend kayak nggak ada yang terjadi di hidupku. Aku cuma bilang ke diri sendiri ‘dulu kamu suka melakukan ini, yaudah lakuin aja. Meskipun itu susah, kalau dijalani terus-terusan juga nggak bakalan susah.’ I just kept doing that,” katanya.

Tentu Tata harus mulai dari satu titik untuk kembali beraktivitas. Setelah kecelakaan, ia pertama kali pergi ke luar sendiri—naik motor diantar tetangga—untuk datang ke acara stand-up comedy di daerah Seturan, sebuah insentif besar untuknya demi berjumpa Panji dan Kamga.

“Terus aku foto bareng Kamga. Bahkan bahuku sempet dipukul Kamga sambil dibilangin ‘cepet sembuh ya.’ Nggak apa-apa deh meskipun sakit, Kamga,” katanya diikuti tawa.

Tata tidak pernah marah pada masnya, justru merasa kasihan karena semua orang pasti menyalahkannya. Kalau ada satu orang yang harus disalahkan atas kejadiannya sekarang, Tata akan menyalahkan pengobatan alternatif. Dia memang sedari awal sudah curiga dengan para ‘tenaga medis’ alternatif ini, sebab diagnosis yang diberikan berbeda dan cenderung hiperbolik. Tata juga merasa pelayanan yang diterimanya di RS PKU kurang baik. “Seandainya aku nggak ke alternatif, dan dari awal ditangani di rumah sakit lain, mungkin ceritanya lain.”

Namun, sekali lagi, Tata menegaskan dirinya sudah pasrah dan nyaman dengan keadaannya sekarang. Itu tidak dirisaukannya lagi. Rasa nyamannya tumbuh dari usahanya membiasakan diri dan berlatih hingga bisa melakukan semua kegiatan sendiri.

Tata memang melakukan banyak hal sendiri, mulai dari berangkat ke kampus dengan ojek, nonton film di bioskop sendiri, pergi untuk terapi sendiri (termasuk jalan dari FISIPOL ke Bethesda untuk menghemat pengeluaran), dan sebagainya. “Itu aja patokanku. Aku nggak memikirkan gimana orang memperlakukan aku. Yang penting aku bisa ini dan itu sendiri,” tuturnya.

“Awalnya berat, tapi ya dijalani aja. Hanya karena tanganku begini, bukan berarti aku harus jadi manja atau jadi orang lain.”

The Perks of It All

Sejak kecelakaannya, Tata tidak merasa ada perubahan dari perlakuan keluarganya. Pada dasarnya, memang Tata tidak pernah dialokasikan tugas domestik apapun oleh neneknya. “Selayaknya orang sakit, emang awal-awal aku dijengukin sama keluarga, termasuk yang di Kauman, seberang RS PKU. Setelah itu ya biasa-biasa lagi,” katanya.

Tetangga-tetangga Tata juga menjenguk, bahkan sampai menyewa beberapa bus untuk ke RS PKU. Memang masih guyub, kalau ada yang sakit dikunjungi.

Teman-teman Tata juga sangat simpatik. Mereka memberi tepuk tangan saat Tata kembali ke sekolah untuk pertama kalinya. Dua temannya, Ruth dan Mega, di hari tertentu dalam seminggu selalu berkunjung ke rumahnya membawakan susu dan makanan macam-macam. Lintang menemaninya saat operasi di Jakarta. Selebihnya, Tata tidak merasa banyak perbedaan. “Mereka tetap memperlakukan aku sebagai aku. Kalau aku butuh bantuan, mereka peka.”

Jika ada satu hal positif karena tangannya, Tata merasa lebih terkenal. “Dulu di SMA kan aku anak cupu di sekolah, jarang ada yang tau. Tapi sejak kecelakaan orang jadi tau, ‘oh, Tata yang tangannya kecelakaan ya? Tata yang tangannya digendong ya?’ Jadi popularitas meningkat, alhamdulillah,” ungkapnya sambil tertawa.

Keadaan Tata memang mengundang afeksi dan perhatian orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya abang (g)ojek, random strangers, dan Kamga. Dougy Mandagi et al. dari The Temper Trap juga bersimpati saat mereka bertemu selepas Tata menonton konser mereka di Jakarta, mengharapkannya kesembuhan.

Ia sering ditanyai oleh supir ojek dan orang-orang yang tidak dikenalnya, ‘Patah tulang ya, Mbak?’ (Aku sendiri mengira begitu saat pertama kali bertemu Tata di kuliah.) Tata selalu menjawab ‘Bukan, sarafnya putus.’

“Biasanya ada dua tipe orang: yang bertanya lebih lanjut, atau yang kemudian diam. Aku menjawabnya juga tergantung mood. Kadang aku capek, ya aku jawab sambil males-malesan. Sering sampai ditawari alternatif yang rata-rata sudah pernah aku datangi,” ceritanya.

Tata sendiri jarang merasa enggan menjawab. Tangannya bukan topik sensitif untuk dibicarakan, bukan sesuatu yang traumatis.

Kadang tangannya memberikan keuntungan. Saat PPSMB (orientasinya UGM) di Grha Sabha Pramana (GSP, auditorium/gedung manten UGM), mahasiswa baru yang lain disuruh berlari dengan seruan imperatif ‘Gamada lariiiiii!’ Tata dikecualikan. “Fasilitatorku bilang, ‘udah, pelan-pelan aja.’ Padahal sebenernya biasa-biasa aja, lari juga bisa.”

Di bandara, seringkali Tata ditawari penumpang lain agar tasnya dibawakan (termasuk oleh seorang oom-oom lucu). Kalau sedang mood dia menerima bantuan mereka. “Kalau aku pengen sendiri, ya sendiri aja. Jadi kalau nggak mood, kadang (perhatian-perhatian itu) bisa jadi irritating,” tuturnya.

Diskriminasi

Tata tidak pernah merasa menjadi korban perlakuan diskriminatif karena keadaannya, kecuali dalam satu hal: Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saat itu, Tata sudah bergabung dengan kelompok KKN di Kalimantan. Hanya saja, dosen pembimbing lapangannya menginterpretasikan keadaannya secara berbeda. Tata merasa sama saja dengan yang lain, hanya saja—kalau mau dikatakan secara gamblang—tangannya cuma satu. Diskriminasi sangat menyakitkan buatnya saat itu.

“Aku kan sudah gabung di kelompok itu sejak lama. Nah, aku sudah lolos tes kesehatan, hanya diberi tanda satu bintang dari Gadjah Mada Medical Centre (GMC). Artinya aku disarankan dekat dengan puskesmas. Tapi ternyata di LPPM, bintangku bisa sampe tiga, artinya kritis banget. Padahal enggak sama sekali. Dokternya udah konfirmasi, tapi LPPM-nya nyebelin, tetep nggak mau,” ungkap Tata.

Alasan yang diberikan dosen pembimbing kelompoknya adalah tempat KKN di Kalimantan itu bahaya dan mereka tidak bisa mengambil risiko. Tahun sebelumnya, katanya, ada yang tenggelam di dekat situ. “Kalau emang bahaya, kenapa nggak ditutup aja sekalian? Kalau emang bahaya, kenapa cuma aku, kenapa nggak yang lain? Kan basically sebenernya aku bisa,” protes Tata. Akhirnya, KKN dituanaikan Tata di Municipality of Southberg a.k.a Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY.

Kepedulian

Tata memang tidak pernah merisaukan tangannya, meskipun ia sepenuhnya sadar akan itu. Namun, kesadarannya lebih banyak tertuang pada kepedulian bagi orang lain. Di FISIPOL, misalnya, lift gedung BA tidak dapat digunakan untuk naik ke lantai 2 sehingga orang-orang harus naik tangga. “Gimana kalau misal ada yang pakai kursi roda? Kan nggak bisa naik. Karena aku begini, makanya aku juga lebih peduli sama keadaan orang lain yang juga membutuhkan, terutama masalah infrastruktur kampus,” ungkapnya.

Terhadap orang-orang dengan kemampuan berbeda, Tata berharap masyarakat dapat memperlakukan mereka secara setara tanpa mengasosiasikan mereka dengan perbedaan yang mereka miliki.

“Kalau kalian merasa mereka butuh bantuan, ya berilah bantuan. Tapi nggak perlu juga melihat kami sebagai orang yang perlu dikasihani. Sering lho, kami nggak membutuhkan (rasa kasihan) itu. Jadi coba peka aja, bedakan mana orang yang kira-kira butuh bantuan dan mana yang tidak.”

Sudah jelas buat Tata, keadaannya bukan sebuah penderitaan. Kehidupannya berlanjut, dan bahkan dia bersyukur. Yang dialaminya tidak seberapa dibanding pasien-pasien lain yang ditemuinya saat terapi.

Tata berpesan pada orang-orang yang sedang mengalami transformasi hidup sepertinya dahulu, “Selagi kamu masih bisa beraktivitas, beraktivitaslah. Hanya karena kamu berbeda, bukan berarti kamu lebih rendah atau nggak bisa ngapa-ngapain. Keadaan fisik bukan menjadi halangan buatmu untuk berkarya, apalagi  teknologi sekarang juga semakin maju. Inshaa Allah.”

--

Banyak hal yang tidak bisa kita ubah dalam hidup. Tata mengatasinya dengan bersyukur. Seperti tamparan tepat di wajah, aku jarang bersyukur. Aku iri pada kebesaran hati Tata. Mungkin menerima keadaan dan mensyukurinya adalah obat bagi rasa kehilangan yang terbaik. Aku belajar darinya, termasuk belajar menjadi pelupa. Tata sudah membuktikan, penderitaan bisa dihadapi, dan dilalui. Emosi yang dipancarkannya positif. Dia sudah melampaui kesedihannya, sudah lupa. Aku sendiri malah meragukan apa dia pernah sedih sama sekali. Yang pasti, Tata sudah lupa.


Bersyukur tidak perlu muluk-muluk. Naiklah tangga kalau cuma naik atau turun satu lantai. 

Senin, 08 Januari 2018

dr. Frans, Kebahagiaan, Proses, dan Keluarga #1

Sabtu malam, 6 Januari 2017, pukul 23.07, Papa masih menyanggupi menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Wajahnya lesu dan kantuknya terlampau jelas, masih lelah setelah semalam menginap di ‘kantor’. “Pukul 06.00 pagi tadi ada operasi,” katanya. ‘Kantornya’, National Hospital Surabaya, terletak di ujung barat kota kelahirannya ini, sedangkan rumah kami di ujung timur.

Aku beruntung dan bangga memanggilnya ‘Papa’. Orang-orang kebanyakan harus menyebutnya dr. Frans diiringi sungkan dan hormat. Paling mentok juga ‘Oom’.

Memang, dokter adalah pekerjaan yang ironis. Sebagai dokter spesialis kandungan Papaku yang bernama lengkap Fransiscus Octavius Hari Prasetyadi berhasil menjaga kesehatan ibu dan bayi mulai dari trimester pertama sampai kelahiran. Tetapi, jam tidur yang cukup menjadi sebuah kemewahan yang lebih sering tak dapat dimilikinya. Berangkat pagi pukul 06.30, pulang pukul 02.00.

Mungkin itu juga yang menjadi alasannya untuk tidak praktik malam setiap Rabu sehingga bisa istirahat. Sepertinya Papaku juga serius menjaga kesehatannya. Menginjak usia 51, perutnya tidak buncit seperti kebanyakan sejawatnya. Lari 10k tampaknya juga sudah diresmikan menjadi hobi yang biasa dilakukan dengan anak pertamanya, Vashti. Aku sih, 5k saja sudah mau pingsan.

Tidak pernah puas belajar

Setelah lulus dari SMA Negeri 5 Surabaya, Papa yang kelahiran 25 Oktober 1966 melanjutkan kuliah Pendidkan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada 1985. Pendidikan itu ditempuhnya selama 6,5 tahun. “Setelah semester ke-11, Papa mengikuti pendidikan dasar militer sehingga harus cuti selama enam bulan sampai dilantik jadi Letnan II,” ungkapnya. Setelah lulus, Papa memilih spesialisasi kebidanan dan kandungan (obstetrics and gynecology) sambil melaksanakan kedinasan di ketentaraan pada 1998-2003.

Ternyata, lulus sebagai dokter OBGYN bukan garis finish-nya. dr Frans mengikuti pendidikan konsultan penyalahgunaan alkohol dan narkotika pada ibu hamil di Australia pada 2005, kemudian menjadi konsultan kedokteran fetomaternal pada 2008 dari pendidikan sub-spesialisasi di RS. Dr. Soetomo. 2011, ia mengikuti fellowship on maternal fetal medicine di Lyell McEwin Hospital, Adelaide.



Secara otodidak, Papaku juga mendapatkan sertifikat dari Fetal Medicine Foundation, King’s College London “untuk melakukan screening kelainan bawaan pada janin seperti down syndrome dan beberapa trisomy lain pada ibu hamil usia sekitar 12 minggu. Selain itu juga screening seberapa besar kemungkinan seorang wanita mengalami hipertensi dalam kehamilan, atau yang disebut preeclampsia; lalu seberapa besar risiko janin yang dikandung mengalami hambatan pertumbuhan; dan risiko kehamilan mengalami persalinan prematur,” ungkapnya menjelaskan. Aku manggut-manggut saja. Yang pasti, di Indonesia belum ada sepuluh dokter yang punya sertifikat itu.

25 tahun berkarir sebagai dokter, tetapi rasa puasnya akan ilmu nampaknya tak pernah terbersit. Baginya, belajar itu sepanjang hidup, tidak boleh berhenti. “Upgrade diri, aktualisasi diri itu nggak boleh berhenti. Achievement demi achievement harus diraih,” ungkap Papa. Memang terdengar ambis(ius), ya, tetapi dorongan itu berakar dari misi hidupnya. “Hidup itu harus melakukan hal baik bagi banyak orang, dan menjadi dokter adalah modal yang besar untuk mewujudkan kebahagiaan orang lain. Itu butuh proses learning yang sangat panjang, nggak bisa instan,” tegasnya. Semakin banyak melakukan sesuatu yang diminati, skill lama-lama akan bertambah, terutama jika diimbangi pengetahuan yang baik dan luas. Papaku merasa tiap orang tidak boleh berpuas diri. Itu hakiki.

Bisa dibilang sekarang dr. Frans adalah salah satu dokter spesialis kandungan terbaik di Surabaya, diukur dari jam tidur yang berbanding terbalik dengan jumlah pasiennya. Mengambil posisi sebagai outsider se-obyektif mungkin, memang tidak muncul kesan puas dan berbangga diri dari tuturnya. Justru, Papaku sangat menghargai proses. Lahir di keluarga sederhana sebagai anak pertama dari enam bersaudara, sering kali di meja makan masa kecilnya hanya ada nasi dan krupuk. Ia sadar bahwa pendidikan akademis adalah satu-satunya yang bisa ditekuninya. “Dari kecil memang tidak ada yang mendukung untuk kegiatan ekstrakurikuler. Tapi, Papa menyadari, ada kelebihan Papa dalam kemampuan memori. Itu menguntungkan untuk pendidikan dokter,” ungkapnya. Dan itu juga yang ditekuninya.

dr. Frans juga merasa dirinya tidak spesial. “Papa ini tidak spesial. Dokter obgyn banyak. Lalu Papa berpikir, apa yang belum banyak dilakukan orang. Ternyata belum banyak yang bisa screening trimester pertama,” ungkapnya mengacu pada sertifikat Fetal Medicine Foundation-nya. Sekali lagi, prosesnya tidak mudah. Selama lima tahun otodidak, ia mengalami kegagalan terus menerus dalam ujian online-nya. Pernah sekali ia menunggu penerbangan selama tujuh jam sambil belajar echocardiography, dilanjutkan ujian. “Nggak lulus juga,” serunya sambil tertawa.

Namun, kini kerja kerasnya terbayar dengan apresiasi pasien. “Banyak pasien yang awalnya ngetes kemampuan Papa. Hasil screening USG Papa dibawa ke Singapura untuk dikonsultasikan dengan dokter di sana. Ternyata banyak dokter yang bilang pekerjaan Papa sudah sangat lengkap. Akhirnya kepercayaan pasien menyusul sendiri,” katanya. Itulah mengapa Papaku percaya pada proses. Kalau prosesnya sungguh-sungguh, hasilnya pasti dapat dipertanggungjawabkan.

Materi dan Prinsip, Duka dan Suka

I would say my father has made a pile doing what he does. Namun, ia mengaku tidak pernah bermimpi menjadi kaya dari profesinya sebagi dokter. “Kalau mau kaya, lebih baik jadi pengusaha. Tapi, yang pasti jadi dokter itu bisa hidup layak, standar saja, tidak kurang tidak lebih,” tegasnya. Standar kebutuhan sudah seharusnya disesuaikan dengan jumlah penghasilan.

Memang sudah kodrat manusia membutuhkan materi untuk melanjutkan hidup, tetapi kebahagiaan menjadi dokter bukan terletak di situ. Bagi dr. Frans, kebahagiaannya menjadi dokter muncul dengan mengantarkan keluarga yang awalnya kesulitan, akhirnya bisa merasa bahagia memiliki anak.

“Akhir-akhir ini, 20-30% pasien Papa mengalami polycystic ovary syndrome (PCOS) sehingga susah hamil. Setelah melakukan treatment selama berbulan-bulan dengan perjuangan pasien juga, akhirnya mereka bisa hamil. Saat mereka mengetahui itu dan menangis bahagia di depan Papa, itu kebahagiaan yang luar biasa. Juga saat mereka melahirkan,” ungkap dr. Frans. Ucapan ‘terima kasih, Dokter’ berulang-ulang dari pasien baginya sudah melukiskan suka cita mendalam. Ungkapan ini terakhir kali datang dari pasangan yang berhasil hamil melalui proses bayi tabung dan langsung mendapat triplet setelah sembilan tahun menikah.

Ucapan terima kasih ini seringkali tidak hanya dalam bentuk lisan atau tulisan, tetapi dalam bentuk tart, pudding, parsel, televisi, tas, jam tangan, dan sebagainya. Aku sih cukup senang, karenanya keluargaku nggak pernah beli tart atau pudding. Tiba-tiba saja ada semua di kulkas.

Hidup memang seimbang, habis futsal lanjut ngudud. Kebahagiaan menjadi dokter juga diiringi kesedihan yang menyesakkan. Papaku sudah merasakannya sejak berstatus dokter muda (DM). Suatu kali saat jaga di IGD, seorang pasien patah tulang datang. Dokter senior menugasi Papaku untuk memeriksanya, hanya untuk ditolak mentah-mentah kemudian. “Setelah pasien itu menolak Papa periksa sebagai DM, dia turun dari tempat tidur dan pergi dari IGD dengan terpincang-pincang. Papa melongo saja,” tuturnya.

Keahlian dr. Frans dalam prenatal diagnosis kerap memaparkannya pada ketidaknyamanan. Kadang Papaku juga nyaris tak sanggup menyatakan kepada calon ibu dan ayah bahwa bayinya akan lahir dalam keadaan cacat. Memberikan kabar buruk ini sendiri sudah menjadi momok yang sangat besar buat dokter, apalagi gagal menolong pasien yang sedang agonal.

Papaku sudah merasakan ngerinya seorang pasien meninggal di tangannya. “Saat masih praktik di RSB Adiguna, Papa sedang menjahit pasien yang baru melahirkan. Tiba-tiba, pasien di kamar sebelah, yang bukan pasien Papa, ketubannya pecah, lalu mengalami emboli air ketuban dan nafasnya terhenti. Tubuhnya langsung membiru. Terpaksa Papa meninggalkan pasien Papa sendiri untuk melakukan resusitasi kepada pasien yang ini. Akhirnya beliau tidak tertolong. Melihat pasien meninggal di tangan kita itu berat. Bayangannya bisa melekat berminggu-minggu.”

Memang kegagalan kadang turut mewarnai kanvas karir seseorang, tak terkecuali dokter. Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa esensi menjadi dokter tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Pengetahuan teoretis dan praktis akan memberikan kepada dokter beberapa pilihan treatment. Tugas dokter selanjutnya adalah memilih pilihan yang paling baik untuk pasien. Namun, pengertian kognitif harus diimbangi afeksi yang tinggi bagi pasien, diwujudkan dengan berempati, sabar, mendengarkan keluhan pasien, mengikuti keinginannya, dan sedikit cerewet supaya pasien mengerti dengan sungguh keadaannya, apa yang akan dikerjakan, dan treatment apa yang akan diberikan.

Prinsip-prinsip inilah yang berusaha dipegang teguh oleh Papaku. “Semuanya berakar dari konsistensi profesional. Idealisme tidak boleh dimatikan, harus dipupuk sejak masa sekolah. Anggap saja semua pasien itu saudara sendiri sehingga kita pasti akan melakukan yang terbaik.” dr. Frans yakin, konsistensi profesional juga dapat menjaga dokter untuk tidak menjadikan pengejaran kekayaan sebagai tujuan utama. Toh, kebahagiaan muncul sendiri saat pasien sembuh.

Karir dan Keluarga

Tiap orang punya peran sosial yang jamak. dr. Frans bukan hanya dokter, tetapi juga ayah. Sejak mulai berkarir di tahun 1993, detail domestik lebih dikuasai oleh Mamaku, sedang Papaku sebagai breadwinner layaknya keluarga tradisional yang dikritik Engels. Papaku tidak begitu mengerti detail seperti kapan harus bayar uang sekolah, beli seragam, dan sebagainya. Bahkan, Papaku mengaku tidak pernah tahu kapan Vashti, kakakku, mulai bisa duduk, merangkak, dan berjalan. “Papa sampai tidak pernah menuntun Kakak khusus untuk belajar berjalan. Tiba-tiba sudah jalan saja,” ujarnya mengaku.

Sudah sangat jelas dalam hal ini, kerja sama, kompromi, dan saling pengertian antara suami dan istri harus dibangun. Papaku beruntung punya Mamaku yang juga wanita mahakuat. Tahun 1995-1996 selama tujuh bulan Papaku belajar kedokterna ke-angkatan-laut-an di Rochefort, Perancis. Selama tujuh bulan juga Mamaku mengandung anak kedua (aku) dengan hanya berteman surat-surat dari sang suami. “Oleh karena itulah Papa sangat menghargai peran Mama yang sangat luar biasa dalam mempertahankan keluarga ini dan dalam membesarkan kalian,” katanya.


Kini kesibukannya tidak berkurang. Tetapi kakakku dan aku sudah besar dan merantau, dan Mamaku sudah bisa bekerja waktu penuh juga. Teknologi gawai genggam menjadi penyelamat komunikasi keluarga, terutama dengan adanya WhatsApp dengan telepon gratisnya. "Asalkan anak-anak juga OK, gayung bersambut, tidak ada masalah."

Urusan sebagai dokter dan keluarga tidak dapat dimungkiri lebih sering bentrok. Papaku pun menyadari itu. Menanggapi keadaan masa kini, “sekolah kedokteran memang lebih panjang dari S1 lainnya. kalau terlalu dalam menekuninya, cita-cita untuk berkeluarga bisa terkesampungkan. Tapi, keharusan untuk menikah segera itu nggak ada.”

Papaku sendiri dulu mengaku memilih untuk bekerja dulu, salah satunya dengan menjadi anggota AL. Bukan sekedar karena kagum pada seragam putih yang gagah, tetapi lebih karena keinginan untuk membantu menopang kebutuhan keluarga. “Akhirnya Papa bisa bayar SPP sendiri, bayarin SPP Oom Teddy, dan adik-adik Papa,” ungkapnya. Hingga kini, motivasi Papaku tidak berubah, malahan bertambah besar: keluarganya.

“Tapi kalau memang ada calon, ya menikah saja,” tambahnya.

Pesan untuk DM

Baru-baru ini mahasiswa kedokteran Universitas Airlangga angkatan 2014 yang excellent in morality mengucap janji dokter muda dan siap menjalankan co-ass (ko-asistensi??). Papaku sudah membuktikan sendiri bahwa pekerjaan sebagai dokter memiliki tuntutan intelektual kognitif dan afektif yang sangat besar. Oleh karena itu, dr. Frans berharap masa co-ass dilaksanakan oleh para dokter muda dengan mindset sebagai dokter.

“Harus selangkah lebih maju. Pikirannya bukan DM lagi, tetapi sudah dokter. Caranya dengan memahami apa yang diharapkan dokter pada bagian atau kasus A, B, sampai Z, apa saja tuntutannya. Itu yang harus dijadikan acuan,” katanya.

Papaku juga kembali mengingatkan para DM untuk menghargai proses. “Dokter tidak bisa instan langsung mahir. Harus melalui proses mencoba. Pemahaman teoretis harus diaplikasikan dengan baik, dalam tahap ini di bawah supervisi, hingga nantinya secara mandiri. Itu adalah proses menjadi dokter yang ‘baik’, dalam arti dokter yang menjaga altrusime, empati, komunikasi, dan kompetensi,” pungkasnya.

--

Tidak hanya muncul kesadaranku bahwa Papaku orang yang sangat serius dalam mengejar cita-citanya. Rasa ingin tahunya terlalu besar. Sedikit banyak muncul rasa minder di dalam benak dan pikiranku. He obviously sets the bar too high, and I as his offspring hasn’t done anything close to what he has achieved. Namun, setidaknya hal itu meyakinkanku untuk terus berkembang sebagai manusia. Bisa dikatakan aku terlambat dalam segala hal. Dalam hidup ini baru empat buku kubaca habis. Aku tidak berkarya, tidak produktif sebagai manusia. Aku sadar akan privilege yang kurasakan sebagai anaknya, dan mungkin aku terlena dalam kesantaian. Mungkin agak terlambat, umurku sudah 21, tetapi dalam diriku muncul keyakinan aku bisa sepertinya dengan caraku sendiri. Kalau sampai baris ini kamu masih membaca, semoga Papaku menginspirasimu juga. Dan semoga kamu menemukan titik dan ruang di mana kamu mau berkembang.


Satu hal lagi, dari ke-selo-anku sampai aku mewawancarainya, aku merasa berhasil sedikit banyak mengumpulkan kembali waktu yang selama ini terbuang untukku bersenang-senang, untuknya bekerja, sehingga kami jarang ngobrol. Aku merasa selangkah mengenal Papaku. Aku baru tahu pangkat Kolonel itu lambangnya tiga melati. Dan itu kemajuan besar. Kalau kamu sampai pada baris ini dan masih membaca, aku hanya mau mengingatkan, ngobrollah dengan ayah dan ibumu.