Sabtu malam, 6 Januari 2017, pukul 23.07,
Papa masih menyanggupi menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Wajahnya lesu dan
kantuknya terlampau jelas, masih lelah setelah semalam menginap di ‘kantor’. “Pukul
06.00 pagi tadi ada operasi,” katanya. ‘Kantornya’, National Hospital Surabaya,
terletak di ujung barat kota kelahirannya ini, sedangkan rumah kami di ujung
timur.
Aku beruntung dan bangga memanggilnya ‘Papa’.
Orang-orang kebanyakan harus menyebutnya dr. Frans diiringi sungkan dan hormat.
Paling mentok juga ‘Oom’.
Memang, dokter adalah pekerjaan yang
ironis. Sebagai dokter spesialis kandungan Papaku yang bernama lengkap
Fransiscus Octavius Hari Prasetyadi berhasil menjaga kesehatan ibu dan bayi mulai
dari trimester pertama sampai kelahiran. Tetapi, jam tidur yang cukup menjadi
sebuah kemewahan yang lebih sering tak dapat dimilikinya. Berangkat pagi pukul
06.30, pulang pukul 02.00.
Mungkin itu juga yang menjadi alasannya
untuk tidak praktik malam setiap Rabu sehingga bisa istirahat. Sepertinya
Papaku juga serius menjaga kesehatannya. Menginjak usia 51, perutnya tidak
buncit seperti kebanyakan sejawatnya. Lari 10k tampaknya juga sudah diresmikan menjadi
hobi yang biasa dilakukan dengan anak pertamanya, Vashti. Aku sih, 5k saja
sudah mau pingsan.
Tidak
pernah puas belajar
Setelah lulus dari SMA Negeri 5 Surabaya, Papa
yang kelahiran 25 Oktober 1966 melanjutkan kuliah Pendidkan Dokter di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga pada 1985. Pendidikan itu ditempuhnya selama
6,5 tahun. “Setelah semester ke-11, Papa mengikuti pendidikan dasar militer
sehingga harus cuti selama enam bulan sampai dilantik jadi Letnan II,” ungkapnya.
Setelah lulus, Papa memilih spesialisasi kebidanan dan kandungan (obstetrics and gynecology) sambil
melaksanakan kedinasan di ketentaraan pada 1998-2003.
Ternyata, lulus sebagai dokter OBGYN bukan garis finish-nya. dr Frans
mengikuti pendidikan konsultan penyalahgunaan alkohol dan narkotika pada ibu
hamil di Australia pada 2005, kemudian menjadi konsultan kedokteran
fetomaternal pada 2008 dari pendidikan sub-spesialisasi di RS. Dr. Soetomo.
2011, ia mengikuti fellowship on maternal
fetal medicine di Lyell McEwin Hospital, Adelaide.
Secara otodidak, Papaku juga mendapatkan
sertifikat dari Fetal Medicine Foundation,
King’s College London “untuk melakukan screening
kelainan bawaan pada janin seperti down
syndrome dan beberapa trisomy
lain pada ibu hamil usia sekitar 12 minggu. Selain itu juga screening seberapa besar kemungkinan
seorang wanita mengalami hipertensi dalam kehamilan, atau yang disebut preeclampsia; lalu seberapa besar risiko
janin yang dikandung mengalami hambatan pertumbuhan; dan risiko kehamilan
mengalami persalinan prematur,” ungkapnya menjelaskan. Aku manggut-manggut
saja. Yang pasti, di Indonesia belum ada sepuluh dokter yang punya sertifikat
itu.
25 tahun berkarir sebagai dokter, tetapi rasa
puasnya akan ilmu nampaknya tak pernah terbersit. Baginya, belajar itu
sepanjang hidup, tidak boleh berhenti. “Upgrade
diri, aktualisasi diri itu nggak boleh berhenti. Achievement demi achievement
harus diraih,” ungkap Papa. Memang terdengar ambis(ius), ya, tetapi dorongan
itu berakar dari misi hidupnya. “Hidup itu harus melakukan hal baik bagi banyak
orang, dan menjadi dokter adalah modal yang besar untuk mewujudkan kebahagiaan
orang lain. Itu butuh proses learning
yang sangat panjang, nggak bisa instan,” tegasnya. Semakin banyak melakukan
sesuatu yang diminati, skill
lama-lama akan bertambah, terutama jika diimbangi pengetahuan yang baik dan
luas. Papaku merasa tiap orang tidak boleh berpuas diri. Itu hakiki.
Bisa dibilang sekarang dr. Frans adalah
salah satu dokter spesialis kandungan terbaik di Surabaya, diukur dari jam
tidur yang berbanding terbalik dengan jumlah pasiennya. Mengambil posisi
sebagai outsider se-obyektif mungkin,
memang tidak muncul kesan puas dan berbangga diri dari tuturnya. Justru, Papaku
sangat menghargai proses. Lahir di keluarga sederhana sebagai anak pertama dari
enam bersaudara, sering kali di meja makan masa kecilnya hanya ada nasi dan
krupuk. Ia sadar bahwa pendidikan akademis adalah satu-satunya yang bisa
ditekuninya. “Dari kecil memang tidak ada yang mendukung untuk kegiatan ekstrakurikuler.
Tapi, Papa menyadari, ada kelebihan Papa dalam kemampuan memori. Itu menguntungkan
untuk pendidikan dokter,” ungkapnya. Dan itu juga yang ditekuninya.
dr. Frans juga merasa dirinya tidak
spesial. “Papa ini tidak spesial. Dokter obgyn
banyak. Lalu Papa berpikir, apa yang belum banyak dilakukan orang. Ternyata
belum banyak yang bisa screening trimester
pertama,” ungkapnya mengacu pada sertifikat Fetal
Medicine Foundation-nya. Sekali lagi, prosesnya tidak mudah. Selama lima
tahun otodidak, ia mengalami kegagalan terus menerus dalam ujian online-nya. Pernah sekali ia menunggu
penerbangan selama tujuh jam sambil belajar echocardiography,
dilanjutkan ujian. “Nggak lulus juga,” serunya sambil tertawa.
Namun, kini kerja kerasnya terbayar dengan
apresiasi pasien. “Banyak pasien yang awalnya ngetes kemampuan Papa. Hasil screening USG Papa dibawa ke Singapura
untuk dikonsultasikan dengan dokter di sana. Ternyata banyak dokter yang bilang
pekerjaan Papa sudah sangat lengkap. Akhirnya kepercayaan pasien menyusul
sendiri,” katanya. Itulah mengapa Papaku percaya pada proses. Kalau prosesnya
sungguh-sungguh, hasilnya pasti dapat dipertanggungjawabkan.
Materi
dan Prinsip, Duka dan Suka
I
would say my father has made a pile doing what he does. Namun, ia mengaku tidak pernah bermimpi menjadi kaya dari
profesinya sebagi dokter. “Kalau mau kaya, lebih baik jadi pengusaha. Tapi,
yang pasti jadi dokter itu bisa hidup layak, standar saja, tidak kurang tidak
lebih,” tegasnya. Standar kebutuhan sudah seharusnya disesuaikan dengan jumlah
penghasilan.
Memang sudah kodrat manusia membutuhkan
materi untuk melanjutkan hidup, tetapi kebahagiaan menjadi dokter bukan
terletak di situ. Bagi dr. Frans, kebahagiaannya menjadi dokter muncul dengan mengantarkan
keluarga yang awalnya kesulitan, akhirnya bisa merasa bahagia memiliki anak.
“Akhir-akhir ini, 20-30% pasien Papa mengalami
polycystic ovary syndrome (PCOS)
sehingga susah hamil. Setelah melakukan treatment
selama berbulan-bulan dengan perjuangan pasien juga, akhirnya mereka bisa
hamil. Saat mereka mengetahui itu dan menangis bahagia di depan Papa, itu kebahagiaan
yang luar biasa. Juga saat mereka melahirkan,” ungkap dr. Frans. Ucapan ‘terima
kasih, Dokter’ berulang-ulang dari pasien baginya sudah melukiskan suka cita
mendalam. Ungkapan ini terakhir kali datang dari pasangan yang berhasil hamil
melalui proses bayi tabung dan langsung mendapat triplet setelah sembilan tahun
menikah.
Ucapan terima kasih ini seringkali tidak
hanya dalam bentuk lisan atau tulisan, tetapi dalam bentuk tart, pudding,
parsel, televisi, tas, jam tangan, dan sebagainya. Aku sih cukup senang,
karenanya keluargaku nggak pernah beli tart atau pudding. Tiba-tiba saja ada
semua di kulkas.
Hidup memang seimbang, habis futsal lanjut
ngudud. Kebahagiaan menjadi dokter juga diiringi kesedihan yang menyesakkan.
Papaku sudah merasakannya sejak berstatus dokter muda (DM). Suatu kali saat
jaga di IGD, seorang pasien patah tulang datang. Dokter senior menugasi Papaku
untuk memeriksanya, hanya untuk ditolak mentah-mentah kemudian. “Setelah pasien
itu menolak Papa periksa sebagai DM, dia turun dari tempat tidur dan pergi dari
IGD dengan terpincang-pincang. Papa melongo saja,” tuturnya.
Keahlian dr. Frans dalam prenatal diagnosis kerap memaparkannya
pada ketidaknyamanan. Kadang Papaku juga nyaris tak sanggup menyatakan kepada
calon ibu dan ayah bahwa bayinya akan lahir dalam keadaan cacat. Memberikan
kabar buruk ini sendiri sudah menjadi momok yang sangat besar buat dokter,
apalagi gagal menolong pasien yang sedang agonal.
Papaku sudah merasakan ngerinya seorang
pasien meninggal di tangannya. “Saat masih praktik di RSB Adiguna, Papa sedang
menjahit pasien yang baru melahirkan. Tiba-tiba, pasien di kamar sebelah, yang
bukan pasien Papa, ketubannya pecah, lalu mengalami emboli air ketuban dan nafasnya
terhenti. Tubuhnya langsung membiru. Terpaksa Papa meninggalkan pasien Papa
sendiri untuk melakukan resusitasi kepada pasien yang ini. Akhirnya beliau
tidak tertolong. Melihat pasien meninggal di tangan kita itu berat. Bayangannya
bisa melekat berminggu-minggu.”
Memang kegagalan kadang turut mewarnai
kanvas karir seseorang, tak terkecuali dokter. Hal ini sekaligus mengingatkan
bahwa esensi menjadi dokter tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Pengetahuan
teoretis dan praktis akan memberikan kepada dokter beberapa pilihan treatment. Tugas dokter selanjutnya
adalah memilih pilihan yang paling baik untuk pasien. Namun, pengertian
kognitif harus diimbangi afeksi yang tinggi bagi pasien, diwujudkan dengan
berempati, sabar, mendengarkan keluhan pasien, mengikuti keinginannya, dan
sedikit cerewet supaya pasien mengerti dengan sungguh keadaannya, apa yang akan
dikerjakan, dan treatment apa yang
akan diberikan.
Prinsip-prinsip inilah yang berusaha
dipegang teguh oleh Papaku. “Semuanya berakar dari konsistensi profesional. Idealisme tidak boleh dimatikan, harus
dipupuk sejak masa sekolah. Anggap saja semua pasien itu saudara sendiri
sehingga kita pasti akan melakukan yang terbaik.” dr. Frans yakin, konsistensi
profesional juga dapat menjaga dokter untuk tidak menjadikan pengejaran
kekayaan sebagai tujuan utama. Toh, kebahagiaan muncul sendiri saat pasien
sembuh.
Karir
dan Keluarga
Tiap orang punya peran sosial yang jamak. dr.
Frans bukan hanya dokter, tetapi juga ayah. Sejak mulai berkarir di tahun 1993,
detail domestik lebih dikuasai oleh Mamaku, sedang Papaku sebagai breadwinner layaknya keluarga
tradisional yang dikritik Engels. Papaku tidak begitu mengerti detail seperti
kapan harus bayar uang sekolah, beli seragam, dan sebagainya. Bahkan, Papaku
mengaku tidak pernah tahu kapan Vashti, kakakku, mulai bisa duduk, merangkak,
dan berjalan. “Papa sampai tidak pernah menuntun Kakak khusus untuk belajar
berjalan. Tiba-tiba sudah jalan saja,” ujarnya mengaku.
Sudah sangat jelas dalam hal ini, kerja
sama, kompromi, dan saling pengertian antara suami dan istri harus dibangun.
Papaku beruntung punya Mamaku yang juga wanita mahakuat. Tahun 1995-1996 selama
tujuh bulan Papaku belajar kedokterna ke-angkatan-laut-an di Rochefort,
Perancis. Selama tujuh bulan juga Mamaku mengandung anak kedua (aku) dengan hanya
berteman surat-surat dari sang suami. “Oleh karena itulah Papa sangat menghargai
peran Mama yang sangat luar biasa dalam mempertahankan keluarga ini dan dalam
membesarkan kalian,” katanya.
Kini kesibukannya tidak berkurang. Tetapi
kakakku dan aku sudah besar dan merantau, dan Mamaku sudah bisa bekerja waktu penuh
juga. Teknologi gawai genggam menjadi penyelamat komunikasi keluarga, terutama
dengan adanya WhatsApp dengan telepon gratisnya. "Asalkan anak-anak juga OK, gayung bersambut, tidak ada masalah."
Urusan sebagai dokter dan keluarga tidak
dapat dimungkiri lebih sering bentrok. Papaku pun menyadari itu. Menanggapi
keadaan masa kini, “sekolah kedokteran memang lebih panjang dari S1 lainnya.
kalau terlalu dalam menekuninya, cita-cita untuk berkeluarga bisa
terkesampungkan. Tapi, keharusan untuk menikah segera itu nggak ada.”
Papaku sendiri dulu mengaku memilih untuk
bekerja dulu, salah satunya dengan menjadi anggota AL. Bukan sekedar karena kagum
pada seragam putih yang gagah, tetapi lebih karena keinginan untuk membantu menopang
kebutuhan keluarga. “Akhirnya Papa bisa bayar SPP sendiri, bayarin SPP Oom
Teddy, dan adik-adik Papa,” ungkapnya. Hingga kini, motivasi Papaku tidak
berubah, malahan bertambah besar: keluarganya.
“Tapi kalau memang ada calon, ya menikah
saja,” tambahnya.
Pesan
untuk DM
Baru-baru ini mahasiswa kedokteran
Universitas Airlangga angkatan 2014 yang excellent
in morality mengucap janji dokter muda dan siap menjalankan co-ass
(ko-asistensi??). Papaku sudah membuktikan sendiri bahwa pekerjaan sebagai
dokter memiliki tuntutan intelektual kognitif dan afektif yang sangat besar.
Oleh karena itu, dr. Frans berharap masa co-ass dilaksanakan oleh para dokter
muda dengan mindset sebagai dokter.
“Harus selangkah lebih maju. Pikirannya bukan
DM lagi, tetapi sudah dokter. Caranya dengan memahami apa yang diharapkan
dokter pada bagian atau kasus A, B, sampai Z, apa saja tuntutannya. Itu yang
harus dijadikan acuan,” katanya.
Papaku juga kembali mengingatkan para DM
untuk menghargai proses. “Dokter tidak bisa instan langsung mahir. Harus melalui
proses mencoba. Pemahaman teoretis harus diaplikasikan dengan baik, dalam tahap
ini di bawah supervisi, hingga nantinya secara mandiri. Itu adalah proses
menjadi dokter yang ‘baik’, dalam arti dokter yang menjaga altrusime, empati,
komunikasi, dan kompetensi,” pungkasnya.
--
Tidak hanya muncul kesadaranku bahwa Papaku
orang yang sangat serius dalam mengejar cita-citanya. Rasa ingin tahunya
terlalu besar. Sedikit banyak muncul rasa minder di dalam benak dan pikiranku. He obviously sets the bar too high, and I as
his offspring hasn’t done anything close to what he has achieved. Namun,
setidaknya hal itu meyakinkanku untuk terus berkembang sebagai manusia. Bisa dikatakan
aku terlambat dalam segala hal. Dalam hidup ini baru empat buku kubaca habis.
Aku tidak berkarya, tidak produktif sebagai manusia. Aku sadar akan privilege yang kurasakan sebagai
anaknya, dan mungkin aku terlena dalam kesantaian. Mungkin agak terlambat,
umurku sudah 21, tetapi dalam diriku muncul keyakinan aku bisa sepertinya
dengan caraku sendiri. Kalau sampai baris ini kamu masih membaca, semoga Papaku
menginspirasimu juga. Dan semoga kamu menemukan titik dan ruang di mana kamu mau berkembang.
Satu hal lagi, dari ke-selo-anku sampai aku
mewawancarainya, aku merasa berhasil sedikit banyak mengumpulkan kembali waktu
yang selama ini terbuang untukku bersenang-senang, untuknya bekerja, sehingga
kami jarang ngobrol. Aku merasa selangkah mengenal Papaku. Aku baru tahu
pangkat Kolonel itu lambangnya tiga melati. Dan itu kemajuan besar. Kalau kamu
sampai pada baris ini dan masih membaca, aku hanya mau mengingatkan, ngobrollah
dengan ayah dan ibumu.