Senin, 08 Januari 2018

dr. Frans, Kebahagiaan, Proses, dan Keluarga #1

Sabtu malam, 6 Januari 2017, pukul 23.07, Papa masih menyanggupi menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Wajahnya lesu dan kantuknya terlampau jelas, masih lelah setelah semalam menginap di ‘kantor’. “Pukul 06.00 pagi tadi ada operasi,” katanya. ‘Kantornya’, National Hospital Surabaya, terletak di ujung barat kota kelahirannya ini, sedangkan rumah kami di ujung timur.

Aku beruntung dan bangga memanggilnya ‘Papa’. Orang-orang kebanyakan harus menyebutnya dr. Frans diiringi sungkan dan hormat. Paling mentok juga ‘Oom’.

Memang, dokter adalah pekerjaan yang ironis. Sebagai dokter spesialis kandungan Papaku yang bernama lengkap Fransiscus Octavius Hari Prasetyadi berhasil menjaga kesehatan ibu dan bayi mulai dari trimester pertama sampai kelahiran. Tetapi, jam tidur yang cukup menjadi sebuah kemewahan yang lebih sering tak dapat dimilikinya. Berangkat pagi pukul 06.30, pulang pukul 02.00.

Mungkin itu juga yang menjadi alasannya untuk tidak praktik malam setiap Rabu sehingga bisa istirahat. Sepertinya Papaku juga serius menjaga kesehatannya. Menginjak usia 51, perutnya tidak buncit seperti kebanyakan sejawatnya. Lari 10k tampaknya juga sudah diresmikan menjadi hobi yang biasa dilakukan dengan anak pertamanya, Vashti. Aku sih, 5k saja sudah mau pingsan.

Tidak pernah puas belajar

Setelah lulus dari SMA Negeri 5 Surabaya, Papa yang kelahiran 25 Oktober 1966 melanjutkan kuliah Pendidkan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada 1985. Pendidikan itu ditempuhnya selama 6,5 tahun. “Setelah semester ke-11, Papa mengikuti pendidikan dasar militer sehingga harus cuti selama enam bulan sampai dilantik jadi Letnan II,” ungkapnya. Setelah lulus, Papa memilih spesialisasi kebidanan dan kandungan (obstetrics and gynecology) sambil melaksanakan kedinasan di ketentaraan pada 1998-2003.

Ternyata, lulus sebagai dokter OBGYN bukan garis finish-nya. dr Frans mengikuti pendidikan konsultan penyalahgunaan alkohol dan narkotika pada ibu hamil di Australia pada 2005, kemudian menjadi konsultan kedokteran fetomaternal pada 2008 dari pendidikan sub-spesialisasi di RS. Dr. Soetomo. 2011, ia mengikuti fellowship on maternal fetal medicine di Lyell McEwin Hospital, Adelaide.



Secara otodidak, Papaku juga mendapatkan sertifikat dari Fetal Medicine Foundation, King’s College London “untuk melakukan screening kelainan bawaan pada janin seperti down syndrome dan beberapa trisomy lain pada ibu hamil usia sekitar 12 minggu. Selain itu juga screening seberapa besar kemungkinan seorang wanita mengalami hipertensi dalam kehamilan, atau yang disebut preeclampsia; lalu seberapa besar risiko janin yang dikandung mengalami hambatan pertumbuhan; dan risiko kehamilan mengalami persalinan prematur,” ungkapnya menjelaskan. Aku manggut-manggut saja. Yang pasti, di Indonesia belum ada sepuluh dokter yang punya sertifikat itu.

25 tahun berkarir sebagai dokter, tetapi rasa puasnya akan ilmu nampaknya tak pernah terbersit. Baginya, belajar itu sepanjang hidup, tidak boleh berhenti. “Upgrade diri, aktualisasi diri itu nggak boleh berhenti. Achievement demi achievement harus diraih,” ungkap Papa. Memang terdengar ambis(ius), ya, tetapi dorongan itu berakar dari misi hidupnya. “Hidup itu harus melakukan hal baik bagi banyak orang, dan menjadi dokter adalah modal yang besar untuk mewujudkan kebahagiaan orang lain. Itu butuh proses learning yang sangat panjang, nggak bisa instan,” tegasnya. Semakin banyak melakukan sesuatu yang diminati, skill lama-lama akan bertambah, terutama jika diimbangi pengetahuan yang baik dan luas. Papaku merasa tiap orang tidak boleh berpuas diri. Itu hakiki.

Bisa dibilang sekarang dr. Frans adalah salah satu dokter spesialis kandungan terbaik di Surabaya, diukur dari jam tidur yang berbanding terbalik dengan jumlah pasiennya. Mengambil posisi sebagai outsider se-obyektif mungkin, memang tidak muncul kesan puas dan berbangga diri dari tuturnya. Justru, Papaku sangat menghargai proses. Lahir di keluarga sederhana sebagai anak pertama dari enam bersaudara, sering kali di meja makan masa kecilnya hanya ada nasi dan krupuk. Ia sadar bahwa pendidikan akademis adalah satu-satunya yang bisa ditekuninya. “Dari kecil memang tidak ada yang mendukung untuk kegiatan ekstrakurikuler. Tapi, Papa menyadari, ada kelebihan Papa dalam kemampuan memori. Itu menguntungkan untuk pendidikan dokter,” ungkapnya. Dan itu juga yang ditekuninya.

dr. Frans juga merasa dirinya tidak spesial. “Papa ini tidak spesial. Dokter obgyn banyak. Lalu Papa berpikir, apa yang belum banyak dilakukan orang. Ternyata belum banyak yang bisa screening trimester pertama,” ungkapnya mengacu pada sertifikat Fetal Medicine Foundation-nya. Sekali lagi, prosesnya tidak mudah. Selama lima tahun otodidak, ia mengalami kegagalan terus menerus dalam ujian online-nya. Pernah sekali ia menunggu penerbangan selama tujuh jam sambil belajar echocardiography, dilanjutkan ujian. “Nggak lulus juga,” serunya sambil tertawa.

Namun, kini kerja kerasnya terbayar dengan apresiasi pasien. “Banyak pasien yang awalnya ngetes kemampuan Papa. Hasil screening USG Papa dibawa ke Singapura untuk dikonsultasikan dengan dokter di sana. Ternyata banyak dokter yang bilang pekerjaan Papa sudah sangat lengkap. Akhirnya kepercayaan pasien menyusul sendiri,” katanya. Itulah mengapa Papaku percaya pada proses. Kalau prosesnya sungguh-sungguh, hasilnya pasti dapat dipertanggungjawabkan.

Materi dan Prinsip, Duka dan Suka

I would say my father has made a pile doing what he does. Namun, ia mengaku tidak pernah bermimpi menjadi kaya dari profesinya sebagi dokter. “Kalau mau kaya, lebih baik jadi pengusaha. Tapi, yang pasti jadi dokter itu bisa hidup layak, standar saja, tidak kurang tidak lebih,” tegasnya. Standar kebutuhan sudah seharusnya disesuaikan dengan jumlah penghasilan.

Memang sudah kodrat manusia membutuhkan materi untuk melanjutkan hidup, tetapi kebahagiaan menjadi dokter bukan terletak di situ. Bagi dr. Frans, kebahagiaannya menjadi dokter muncul dengan mengantarkan keluarga yang awalnya kesulitan, akhirnya bisa merasa bahagia memiliki anak.

“Akhir-akhir ini, 20-30% pasien Papa mengalami polycystic ovary syndrome (PCOS) sehingga susah hamil. Setelah melakukan treatment selama berbulan-bulan dengan perjuangan pasien juga, akhirnya mereka bisa hamil. Saat mereka mengetahui itu dan menangis bahagia di depan Papa, itu kebahagiaan yang luar biasa. Juga saat mereka melahirkan,” ungkap dr. Frans. Ucapan ‘terima kasih, Dokter’ berulang-ulang dari pasien baginya sudah melukiskan suka cita mendalam. Ungkapan ini terakhir kali datang dari pasangan yang berhasil hamil melalui proses bayi tabung dan langsung mendapat triplet setelah sembilan tahun menikah.

Ucapan terima kasih ini seringkali tidak hanya dalam bentuk lisan atau tulisan, tetapi dalam bentuk tart, pudding, parsel, televisi, tas, jam tangan, dan sebagainya. Aku sih cukup senang, karenanya keluargaku nggak pernah beli tart atau pudding. Tiba-tiba saja ada semua di kulkas.

Hidup memang seimbang, habis futsal lanjut ngudud. Kebahagiaan menjadi dokter juga diiringi kesedihan yang menyesakkan. Papaku sudah merasakannya sejak berstatus dokter muda (DM). Suatu kali saat jaga di IGD, seorang pasien patah tulang datang. Dokter senior menugasi Papaku untuk memeriksanya, hanya untuk ditolak mentah-mentah kemudian. “Setelah pasien itu menolak Papa periksa sebagai DM, dia turun dari tempat tidur dan pergi dari IGD dengan terpincang-pincang. Papa melongo saja,” tuturnya.

Keahlian dr. Frans dalam prenatal diagnosis kerap memaparkannya pada ketidaknyamanan. Kadang Papaku juga nyaris tak sanggup menyatakan kepada calon ibu dan ayah bahwa bayinya akan lahir dalam keadaan cacat. Memberikan kabar buruk ini sendiri sudah menjadi momok yang sangat besar buat dokter, apalagi gagal menolong pasien yang sedang agonal.

Papaku sudah merasakan ngerinya seorang pasien meninggal di tangannya. “Saat masih praktik di RSB Adiguna, Papa sedang menjahit pasien yang baru melahirkan. Tiba-tiba, pasien di kamar sebelah, yang bukan pasien Papa, ketubannya pecah, lalu mengalami emboli air ketuban dan nafasnya terhenti. Tubuhnya langsung membiru. Terpaksa Papa meninggalkan pasien Papa sendiri untuk melakukan resusitasi kepada pasien yang ini. Akhirnya beliau tidak tertolong. Melihat pasien meninggal di tangan kita itu berat. Bayangannya bisa melekat berminggu-minggu.”

Memang kegagalan kadang turut mewarnai kanvas karir seseorang, tak terkecuali dokter. Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa esensi menjadi dokter tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Pengetahuan teoretis dan praktis akan memberikan kepada dokter beberapa pilihan treatment. Tugas dokter selanjutnya adalah memilih pilihan yang paling baik untuk pasien. Namun, pengertian kognitif harus diimbangi afeksi yang tinggi bagi pasien, diwujudkan dengan berempati, sabar, mendengarkan keluhan pasien, mengikuti keinginannya, dan sedikit cerewet supaya pasien mengerti dengan sungguh keadaannya, apa yang akan dikerjakan, dan treatment apa yang akan diberikan.

Prinsip-prinsip inilah yang berusaha dipegang teguh oleh Papaku. “Semuanya berakar dari konsistensi profesional. Idealisme tidak boleh dimatikan, harus dipupuk sejak masa sekolah. Anggap saja semua pasien itu saudara sendiri sehingga kita pasti akan melakukan yang terbaik.” dr. Frans yakin, konsistensi profesional juga dapat menjaga dokter untuk tidak menjadikan pengejaran kekayaan sebagai tujuan utama. Toh, kebahagiaan muncul sendiri saat pasien sembuh.

Karir dan Keluarga

Tiap orang punya peran sosial yang jamak. dr. Frans bukan hanya dokter, tetapi juga ayah. Sejak mulai berkarir di tahun 1993, detail domestik lebih dikuasai oleh Mamaku, sedang Papaku sebagai breadwinner layaknya keluarga tradisional yang dikritik Engels. Papaku tidak begitu mengerti detail seperti kapan harus bayar uang sekolah, beli seragam, dan sebagainya. Bahkan, Papaku mengaku tidak pernah tahu kapan Vashti, kakakku, mulai bisa duduk, merangkak, dan berjalan. “Papa sampai tidak pernah menuntun Kakak khusus untuk belajar berjalan. Tiba-tiba sudah jalan saja,” ujarnya mengaku.

Sudah sangat jelas dalam hal ini, kerja sama, kompromi, dan saling pengertian antara suami dan istri harus dibangun. Papaku beruntung punya Mamaku yang juga wanita mahakuat. Tahun 1995-1996 selama tujuh bulan Papaku belajar kedokterna ke-angkatan-laut-an di Rochefort, Perancis. Selama tujuh bulan juga Mamaku mengandung anak kedua (aku) dengan hanya berteman surat-surat dari sang suami. “Oleh karena itulah Papa sangat menghargai peran Mama yang sangat luar biasa dalam mempertahankan keluarga ini dan dalam membesarkan kalian,” katanya.


Kini kesibukannya tidak berkurang. Tetapi kakakku dan aku sudah besar dan merantau, dan Mamaku sudah bisa bekerja waktu penuh juga. Teknologi gawai genggam menjadi penyelamat komunikasi keluarga, terutama dengan adanya WhatsApp dengan telepon gratisnya. "Asalkan anak-anak juga OK, gayung bersambut, tidak ada masalah."

Urusan sebagai dokter dan keluarga tidak dapat dimungkiri lebih sering bentrok. Papaku pun menyadari itu. Menanggapi keadaan masa kini, “sekolah kedokteran memang lebih panjang dari S1 lainnya. kalau terlalu dalam menekuninya, cita-cita untuk berkeluarga bisa terkesampungkan. Tapi, keharusan untuk menikah segera itu nggak ada.”

Papaku sendiri dulu mengaku memilih untuk bekerja dulu, salah satunya dengan menjadi anggota AL. Bukan sekedar karena kagum pada seragam putih yang gagah, tetapi lebih karena keinginan untuk membantu menopang kebutuhan keluarga. “Akhirnya Papa bisa bayar SPP sendiri, bayarin SPP Oom Teddy, dan adik-adik Papa,” ungkapnya. Hingga kini, motivasi Papaku tidak berubah, malahan bertambah besar: keluarganya.

“Tapi kalau memang ada calon, ya menikah saja,” tambahnya.

Pesan untuk DM

Baru-baru ini mahasiswa kedokteran Universitas Airlangga angkatan 2014 yang excellent in morality mengucap janji dokter muda dan siap menjalankan co-ass (ko-asistensi??). Papaku sudah membuktikan sendiri bahwa pekerjaan sebagai dokter memiliki tuntutan intelektual kognitif dan afektif yang sangat besar. Oleh karena itu, dr. Frans berharap masa co-ass dilaksanakan oleh para dokter muda dengan mindset sebagai dokter.

“Harus selangkah lebih maju. Pikirannya bukan DM lagi, tetapi sudah dokter. Caranya dengan memahami apa yang diharapkan dokter pada bagian atau kasus A, B, sampai Z, apa saja tuntutannya. Itu yang harus dijadikan acuan,” katanya.

Papaku juga kembali mengingatkan para DM untuk menghargai proses. “Dokter tidak bisa instan langsung mahir. Harus melalui proses mencoba. Pemahaman teoretis harus diaplikasikan dengan baik, dalam tahap ini di bawah supervisi, hingga nantinya secara mandiri. Itu adalah proses menjadi dokter yang ‘baik’, dalam arti dokter yang menjaga altrusime, empati, komunikasi, dan kompetensi,” pungkasnya.

--

Tidak hanya muncul kesadaranku bahwa Papaku orang yang sangat serius dalam mengejar cita-citanya. Rasa ingin tahunya terlalu besar. Sedikit banyak muncul rasa minder di dalam benak dan pikiranku. He obviously sets the bar too high, and I as his offspring hasn’t done anything close to what he has achieved. Namun, setidaknya hal itu meyakinkanku untuk terus berkembang sebagai manusia. Bisa dikatakan aku terlambat dalam segala hal. Dalam hidup ini baru empat buku kubaca habis. Aku tidak berkarya, tidak produktif sebagai manusia. Aku sadar akan privilege yang kurasakan sebagai anaknya, dan mungkin aku terlena dalam kesantaian. Mungkin agak terlambat, umurku sudah 21, tetapi dalam diriku muncul keyakinan aku bisa sepertinya dengan caraku sendiri. Kalau sampai baris ini kamu masih membaca, semoga Papaku menginspirasimu juga. Dan semoga kamu menemukan titik dan ruang di mana kamu mau berkembang.


Satu hal lagi, dari ke-selo-anku sampai aku mewawancarainya, aku merasa berhasil sedikit banyak mengumpulkan kembali waktu yang selama ini terbuang untukku bersenang-senang, untuknya bekerja, sehingga kami jarang ngobrol. Aku merasa selangkah mengenal Papaku. Aku baru tahu pangkat Kolonel itu lambangnya tiga melati. Dan itu kemajuan besar. Kalau kamu sampai pada baris ini dan masih membaca, aku hanya mau mengingatkan, ngobrollah dengan ayah dan ibumu.