Aku bertemu Tata hari Senin siang (5/2).
Sehari sebelumnya aku mengikuti dua misa sore, di Banteng dan Kotabaru.
Seharusnya aku berkunjung ke rumahnya Minggu malam, tetapi karena hujan, kami
mengubah jadwal.
Penderitaan. Romo di Banteng mengatakan
dalam khotbahnya, ia tidak tahu mengapa penderitaan itu ada.
Tentu aku bukan satu-satunya orang yang
pernah melontarkan kata-kata ‘Mengapa aku, ya Tuhan?’ Namun, Romo juga
meyakinkan, penderitaan bisa dihadapi. Aku sendiri menolak percaya bahwa Tuhan
memberikan penderitaan kepada umat-Nya untuk menguatkan, mendewasakan mereka.
Aku rasa Tuhan tidak segitunya menganggur sampai iseng mengerjai anak-Nya. Hidup
bukan ITS, tidak perlu ospek artifisial untuk dipantaskan jadi warga surgawi. Lagi
pula, sebagai seorang Katolik, aku percaya Tuhan sudah memperbarui janji-Nya.
Tapi itu untuk bahasan lain.
Penderitaan adalah kata yang melekat di
pikiranku dalam perjalanan ke rumah Tata. Aku, seorang pesimis (akut), tidak
berani membayangkan kehilangan anggota tubuh paling penting yang menopang
kemaslahatan diri sendiri. Bagaimana frustrasi yang dirasakan, berapa kali
harus menangis sepanjang hidup, dan segala manifestasi kesedihan lainnya karena
kehilangan.
--
Ternyata, Tata sama sekali bukan aku.
“Namaku Natasha Chairunnisa Kuswanto, lahir
Sleman 17 Oktober 1996. Aku seorang optimis,” katanya. Selama ini aku salah
besar. “I tend to see the good things in
the worst situations,” lanjutnya.
Seleranya akan “oom-oom” macam tokoh Suripto (Teuku Rifnu Wikana) di film antologi gombalan receh Dilan 1990 mendorongku berpikir bahwa dia sudah putus asa dengan laki-laki muda seusianya. Begitu juga dengan beberapa pengalaman lain yang membuatku berpikir sebaliknya. Tetapi sudah jelas, Tata mendeklarasikan dirinya seorang optimis, dan dia benar.
Terlanjur ‘terjebak’ di Ilmu Hubungan
Internasional, Tata merasa hasratnya yang sejati terletak di dunia perfilman.
Semua bermula dari film Modus Anomali
karya Joko Anwar. “Film itu jenius, seperti menghipnotis aku untuk kerja di
(dunia) film,” kata Tata. Ia sendiri sudah pernah menjadi ketua komunitas film
HI CINE di KOMAHI.
Orang tua Tata tidak menganjurkannya kuliah
perfilman. Akhirnya Tata memilih jurusan Sastra Indonesia sebagai pilihan kedua
SNMPTN “biar kelempar dari HI.” Rencananya, setelah lulus dari HI, dia mau
belajar perfilman dan membangun jejaring. Sebagai rencana jangka pendek, Tata
ingin bekerja di salah satu media showbiz.
Bukan
Perubahan Besar
Tangan dan lengan kanan Tata utuh, tetapi
tidak bisa digerakkan dan terlihat mengalami atrofi. Warna kulitnya juga lebih
pucat daripada tangan kirinya. Keadaannya kini disebabkan oleh kecelakaan pada
pertengahan 2013, semasa ujian kenaikan kelas.
Siang itu Tata sedang berkunjung ke rumah
temannya di daerah Ngampilan, Yogyakarta. “Seperti biasa, masku njemput aku,
kan. Terus pas di jalan, aku nggak inget jelas. Yang aku lihat waktu itu cuma
mobil berhenti, suara rem, terus aku udah pingsan.”
Ketika kesadarannya kembali, Tata sudah
berada di semacam apotek, kemudian dibawa ke RS PKU Muhamadiyah. “Selama di
jalan aku udah ngerasa tangan kananku nggak bisa gerak. Nyeri dan geringgingan
(kesemutan) hebat gitu,” kata Tata. Ternyata bahu kanan dan lengannya bengkak.
Menurut versi masnya, mobil yang dilihat Tata ngerem mendadak untuk menghindari bapak pengendara sepeda yang lewat. Alih-alih berhasil mengindar, mereka malah menabrak si bapak yang kemudian juga dibawa ke RS PKU karena luka-luka ringan.
Setelah tiga hari menunggu dokter datang di
rumah sakit, diagnosis yang diberikan adalah “sarafnya kejepit. Tunggu
bengkaknya reda aja, nanti bisa digerakkan lagi.”
Setelah berganti ke dokter yang praktik di RS Sardjito UGM, diagnosis yang diberikan adalah brachial plexus injury, atau cedera jaringan saraf yang menyambung dari spinal cord, cervicoaxillary canal di sekitar leher, menyambung ke first rib, dan ketiak. (No, I did not google it.
It’s basic knowledge and everyone knows.) Diperkirakan karena benturan
dengan pinggiran helm ke bahu kanan saat jatuh.
Setelah berganti ke dokter yang praktik di RS Sardjito UGM, diagnosis yang diberikan adalah brachial plexus injury, atau cedera jaringan saraf yang menyambung dari spinal cord, cervicoaxillary canal di sekitar leher, menyambung ke first rib, dan ketiak. (
Tiga bulan masa istirahat hingga setahun,
perkembangan lengan kanan Tata nihil, pun setelah melakukan terapi dan
pengobatan alternatif. Tidak ada kemajuan. Selepas bengkaknya reda, ternyata
lengan kanannya tidak juga bisa digerakkan. Dokter ketiga (spesialis saraf) yang
dikunjungi Tata mengatakan lengannya sudah dibiarkan terlalu lama dan susah
untuk dinormalkan kembali.
“Bisa, tapi harus suntik tiap hari. Obatnya
mahal dan aku nggak mau membebani orang tuaku,” kata Tata.
Tata sempat menangis mendengar ‘putusan’
dokter, bukan karena harus menerima kenyataan mengenai lengan dan tangannya.
“Aku sedih lebih karena memupuskan harapan orang-orang yang masih semangat
supaya aku sembuh. Papaku misalnya. Aku sendiri sebenernya udah rela, udah
nyaman juga, udah bisa ngapa-ngapain. Aku nggak merasa ada perubahan yang besar
banget dari hidupku,” katanya.
Tindakan medis terakhir yang dijalani Tata
adalah cangkok otot paha ke bahu dan lengannya di tahun 2016. Hasilnya pun
tidak jauh berbeda, hanya kini terlihat bekas-bekas jahitan di leher dan bahu,
serta lengan bawahnya. Namun, ototnya di bahu dan lengannya lebih kuat.
Tata bukan berarti putus asa. Ia lebih
merasa pasrah sembari berusaha untuk beradaptasi dengan kondisinya yang baru.
Melampaui
Frustrasi
Aku mengantisipasi akan ada sedikit duka
Tata yang menyembul kalau bercerita tentang tangannya, tetapi, “Aku udah lupa
perasaan sedihnya gimana.” Sudah lupa perasaannya setelah tangan kanannya tidak
bisa digerakkan. Bukan berarti menolak kesedihan untuk datang, hanya saja dia segera
lupa.
Yang dia ingat, masa tiga bulan setelah
kecelakaan memang cukup berat. Tata harus melewatkan dua ujian kenaikan kelas
(dirapel sebelum UN). Dia harus diam di rumah saja karena sakit kepala terus
menerus. Lengannya masih terlalu sensitif sehingga sakit kalau beraktivitas.
Memang frustrasi tidak dapat sepenuhnya
Tata hindari. Banyak kesehariannya yang tidak bisa lagi dilakukannya sendiri. Hobi
fotografinya terhambat karena tidak lagi bisa memegang kamera. Mandi harus
dimandikan. Mengetik juga susah dengan satu tangan saja. Menulis juga harus
dibiasakan dengan tangan kiri. Ia butuh waktu berbulan-bulan untuk berlatih di
sela-sela kegiatannya, termasuk di kelas. Membuat garis saat pelajaran
matematika sudah jadi tantangan tersendiri. Tata juga harus pinjam catatan
teman untuk disalinnya sepulang sekolah.
Tapi bagaimana? Apa tidak susah?
“Untuk mengatasi frustrasi, aku pretend kayak nggak ada yang terjadi di
hidupku. Aku cuma bilang ke diri sendiri ‘dulu kamu suka melakukan ini, yaudah
lakuin aja. Meskipun itu susah, kalau dijalani terus-terusan juga nggak bakalan
susah.’ I just kept doing that,”
katanya.
Tentu Tata harus mulai dari satu titik
untuk kembali beraktivitas. Setelah kecelakaan, ia pertama kali pergi ke luar
sendiri—naik motor diantar tetangga—untuk datang ke acara stand-up comedy di daerah Seturan, sebuah insentif besar untuknya demi
berjumpa Panji dan Kamga.
“Terus aku foto bareng Kamga. Bahkan bahuku
sempet dipukul Kamga sambil dibilangin ‘cepet sembuh ya.’ Nggak apa-apa deh meskipun
sakit, Kamga,” katanya diikuti tawa.
Tata tidak pernah marah pada masnya, justru
merasa kasihan karena semua orang pasti menyalahkannya. Kalau ada satu orang
yang harus disalahkan atas kejadiannya sekarang, Tata akan menyalahkan
pengobatan alternatif. Dia memang sedari awal sudah curiga dengan para ‘tenaga
medis’ alternatif ini, sebab diagnosis yang diberikan berbeda dan cenderung
hiperbolik. Tata juga merasa pelayanan yang diterimanya di RS PKU kurang baik.
“Seandainya aku nggak ke alternatif, dan dari awal ditangani di rumah sakit
lain, mungkin ceritanya lain.”
Namun, sekali lagi, Tata menegaskan dirinya
sudah pasrah dan nyaman dengan keadaannya sekarang. Itu tidak dirisaukannya
lagi. Rasa nyamannya tumbuh dari usahanya membiasakan diri dan berlatih hingga
bisa melakukan semua kegiatan sendiri.
Tata memang melakukan banyak hal sendiri,
mulai dari berangkat ke kampus dengan ojek, nonton film di bioskop sendiri,
pergi untuk terapi sendiri (termasuk jalan dari FISIPOL ke Bethesda untuk
menghemat pengeluaran), dan sebagainya. “Itu aja patokanku. Aku nggak
memikirkan gimana orang memperlakukan aku. Yang penting aku bisa ini dan itu
sendiri,” tuturnya.
“Awalnya berat, tapi ya dijalani aja. Hanya
karena tanganku begini, bukan berarti aku harus jadi manja atau jadi orang
lain.”
The Perks of It All
Sejak kecelakaannya, Tata tidak merasa ada
perubahan dari perlakuan keluarganya. Pada dasarnya, memang Tata tidak pernah
dialokasikan tugas domestik apapun oleh neneknya. “Selayaknya orang sakit,
emang awal-awal aku dijengukin sama keluarga, termasuk yang di Kauman, seberang
RS PKU. Setelah itu ya biasa-biasa lagi,” katanya.
Teman-teman Tata juga sangat simpatik. Mereka
memberi tepuk tangan saat Tata kembali ke sekolah untuk pertama kalinya. Dua
temannya, Ruth dan Mega, di hari tertentu dalam seminggu selalu berkunjung ke
rumahnya membawakan susu dan makanan macam-macam. Lintang menemaninya saat
operasi di Jakarta. Selebihnya, Tata tidak merasa banyak perbedaan. “Mereka
tetap memperlakukan aku sebagai aku. Kalau aku butuh bantuan, mereka peka.”
Jika ada satu hal positif karena tangannya,
Tata merasa lebih terkenal. “Dulu di SMA kan aku anak cupu di sekolah, jarang
ada yang tau. Tapi sejak kecelakaan orang jadi tau, ‘oh, Tata yang tangannya
kecelakaan ya? Tata yang tangannya digendong ya?’ Jadi popularitas meningkat,
alhamdulillah,” ungkapnya sambil tertawa.
Keadaan Tata memang mengundang afeksi dan
perhatian orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya abang (g)ojek, random strangers, dan Kamga. Dougy Mandagi et al. dari The Temper Trap juga bersimpati saat mereka bertemu selepas Tata menonton konser mereka di Jakarta, mengharapkannya kesembuhan.
Ia sering ditanyai oleh supir ojek dan
orang-orang yang tidak dikenalnya, ‘Patah tulang ya, Mbak?’ (Aku sendiri mengira
begitu saat pertama kali bertemu Tata di kuliah.) Tata selalu menjawab ‘Bukan,
sarafnya putus.’
“Biasanya ada dua tipe orang: yang bertanya
lebih lanjut, atau yang kemudian diam. Aku menjawabnya juga tergantung mood. Kadang aku capek, ya aku jawab
sambil males-malesan. Sering sampai ditawari alternatif yang rata-rata sudah
pernah aku datangi,” ceritanya.
Tata sendiri jarang merasa enggan menjawab.
Tangannya bukan topik sensitif untuk dibicarakan, bukan sesuatu yang traumatis.
Kadang tangannya memberikan keuntungan.
Saat PPSMB (orientasinya UGM) di Grha Sabha Pramana (GSP, auditorium/gedung
manten UGM), mahasiswa baru yang lain disuruh berlari dengan seruan
imperatif ‘Gamada lariiiiii!’ Tata dikecualikan. “Fasilitatorku bilang, ‘udah,
pelan-pelan aja.’ Padahal sebenernya biasa-biasa aja, lari juga bisa.”
Di bandara, seringkali Tata ditawari
penumpang lain agar tasnya dibawakan (termasuk oleh seorang oom-oom lucu).
Kalau sedang mood dia menerima
bantuan mereka. “Kalau aku pengen sendiri, ya sendiri aja. Jadi kalau nggak mood, kadang (perhatian-perhatian itu) bisa
jadi irritating,” tuturnya.
Diskriminasi
Tata tidak pernah merasa menjadi korban
perlakuan diskriminatif karena keadaannya, kecuali dalam satu hal: Kuliah Kerja
Nyata (KKN). Saat itu, Tata sudah bergabung dengan kelompok KKN di Kalimantan.
Hanya saja, dosen pembimbing lapangannya menginterpretasikan keadaannya secara
berbeda. Tata merasa sama saja dengan yang lain, hanya saja—kalau mau dikatakan
secara gamblang—tangannya cuma satu. Diskriminasi sangat menyakitkan buatnya
saat itu.
“Aku kan sudah gabung di kelompok itu sejak
lama. Nah, aku sudah lolos tes kesehatan, hanya diberi tanda satu bintang dari Gadjah Mada Medical Centre (GMC).
Artinya aku disarankan dekat dengan puskesmas. Tapi ternyata di LPPM, bintangku
bisa sampe tiga, artinya kritis banget. Padahal enggak sama sekali. Dokternya
udah konfirmasi, tapi LPPM-nya nyebelin, tetep nggak mau,” ungkap Tata.
Alasan yang diberikan dosen pembimbing
kelompoknya adalah tempat KKN di Kalimantan itu bahaya dan mereka tidak bisa
mengambil risiko. Tahun sebelumnya, katanya, ada yang tenggelam di dekat situ. “Kalau
emang bahaya, kenapa nggak ditutup aja sekalian? Kalau emang bahaya, kenapa cuma
aku, kenapa nggak yang lain? Kan basically
sebenernya aku bisa,” protes Tata. Akhirnya, KKN dituanaikan Tata di Municipality of Southberg a.k.a
Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY.
Kepedulian
Tata memang tidak pernah merisaukan
tangannya, meskipun ia sepenuhnya sadar akan itu. Namun, kesadarannya lebih banyak
tertuang pada kepedulian bagi orang lain. Di FISIPOL, misalnya, lift gedung BA tidak dapat digunakan
untuk naik ke lantai 2 sehingga orang-orang harus naik tangga. “Gimana kalau
misal ada yang pakai kursi roda? Kan nggak bisa naik. Karena aku begini,
makanya aku juga lebih peduli sama keadaan orang lain yang juga membutuhkan,
terutama masalah infrastruktur kampus,” ungkapnya.
Terhadap orang-orang dengan kemampuan berbeda,
Tata berharap masyarakat dapat memperlakukan mereka secara setara tanpa
mengasosiasikan mereka dengan perbedaan yang mereka miliki.
“Kalau kalian merasa mereka butuh bantuan,
ya berilah bantuan. Tapi nggak perlu juga melihat kami sebagai orang yang perlu
dikasihani. Sering lho, kami nggak membutuhkan (rasa kasihan) itu. Jadi coba
peka aja, bedakan mana orang yang kira-kira butuh bantuan dan mana yang tidak.”
Sudah jelas buat Tata, keadaannya bukan
sebuah penderitaan. Kehidupannya berlanjut, dan bahkan dia bersyukur. Yang
dialaminya tidak seberapa dibanding pasien-pasien lain yang ditemuinya saat
terapi.
Tata berpesan pada orang-orang yang sedang
mengalami transformasi hidup sepertinya dahulu, “Selagi kamu masih bisa beraktivitas,
beraktivitaslah. Hanya karena kamu berbeda, bukan berarti kamu lebih rendah
atau nggak bisa ngapa-ngapain. Keadaan fisik bukan menjadi halangan buatmu
untuk berkarya, apalagi teknologi
sekarang juga semakin maju. Inshaa Allah.”
--
Banyak hal yang tidak bisa kita ubah dalam
hidup. Tata mengatasinya dengan bersyukur. Seperti tamparan tepat di wajah, aku
jarang bersyukur. Aku iri pada kebesaran hati Tata. Mungkin menerima keadaan
dan mensyukurinya adalah obat bagi rasa kehilangan yang terbaik. Aku belajar
darinya, termasuk belajar menjadi pelupa. Tata sudah membuktikan, penderitaan
bisa dihadapi, dan dilalui. Emosi yang dipancarkannya positif. Dia sudah melampaui kesedihannya, sudah lupa. Aku sendiri malah meragukan apa dia pernah sedih sama sekali. Yang pasti, Tata sudah lupa.
Bersyukur tidak perlu muluk-muluk. Naiklah
tangga kalau cuma naik atau turun satu lantai.