Sabtu, 22 September 2018

15 Paragraf yang Dibayar Mahal

Tulisan ini tadinya buat dimasukin ke rubrik Di Balik Berita Kompas.id. Berhubung aku masih cawar dan enggak boleh nulis feature, ya tak post di sini aja deh hehe.

Sepuluh orang cawar dari angkatan 2018 yang diminta bergabung dalam Tim Lebaran. Saya (foto pada tablet) tidak hadir karena sebelum Tim Lebaran selesai bertugas, saya terkena cacar air. Itu untuk cerita lain....
Selasa (5/9/2018), lewat tengah malam, saya tersenyum girang setelah membaca e-paper Kompas edisi hari itu dari aplikasi Kompas.id. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya hasil reportase saya—yang masih berstatus calon wartawan—dimuat di harian Kompas yang menurut para senior menjadi salah satu referensi utama para elite pembuat kebijakan.

Dari total 21, sebanyak 15 paragraf dalam artikel berjudul “Sebagian Penumpang Batalkan Tiket” tersebut adalah tulisan saya. Ada rasa bangga yang mendalam karena 15 paragraf itu bisa dibaca pelanggan Kompas di seluruh Indonesia. Namun, di balik 15 paragraf itu, ada pengalaman yang mungkin sampai hari ini masih saya sesali.

Artikel pertama saya (E03) yang dimuat di harian Kompas edisi Selasa (5/6/2018)


Sejak 2 April 2018, saya dan teman-teman cawar telah menerima pendidikan dan pelatihan jurnalistik selama lebih dari dua bulan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kompas. Kami sudah turun ke lapangan untuk meliput, tetapi artikel hasil reportase kami hanya dievaluasi di kelas, tidak diterbitkan di harian ataupun Kompas.id. Karena itu, mendapatkan kesempatan merasakan suasana redaksi lebih cepat membuat saya bersemangat.

Mulai Senin (4/9/2018) hingga 15 hari berikutnya, 11 orang termasuk saya dari total 24 calon wartawan (cawar) hasil rekrutmen 2018 diminta bergabung dalam Tim Lebaran yang mengambil tema Pulang ke Indonesia. Tim ini bertugas mengisi pemberitaan di harian selagi sebagian wartawan mengambil cuti selama Ramadan menjelang Lebaran. Koran harus tetap terbit.

Hari itu saya ditugasi memantau pergerakan pemudik di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sekitar pukul 09.30 WIB, saya berangkat dari kost dengan skuter matic Honda Vario 125 cc warna merah yang sudah menemani perjalanan saya sejak duduk di bangku SMA.

Sebagai anak rantau, saya belum hafal jalanan di Jakarta. Aplikasi Google Maps menjadi andalan saya saat harus berjibaku dengan lalu lintas Ibu Kota yang rumit nan semrawut. Keberadaan ‘kantong’ di sisi kiri pada body bagian depan Vario, tepatnya di bawah setang sangat bermanfaat untuk meletakkan ponsel pintar yang menjadi penunjuk arah.

Kantong kiri pada body bagian depan skuter matic Honda Vario 125 cc milik saya. Kantong ini saya gunakan untuk meletakkan ponsel yang menjalankan aplikasi Google Maps untuk memandu saya sampai ke tempat liputan.
Perjalanan dari kost sampai Stasiun Pasar Senen berhasil saya tempuh dengan selamat. Namun, tentunya Google Maps tidak bisa memberi tahu di mana letak parkiran sepeda motor, dan saat itu baru kedua kalinya saya pergi ke Stasiun Pasar Senen. Oleh Google Maps, saya diarahkan ke pintu selatan stasiun yang dikhususkan untuk jalur masuk mobil.

Melihat banyak motor yang diparkir di depan pintu masuk, berdekatan dengan bus-bus Transjakarta, saya memarkir motor di situ. Saya cukup heran, mengapa stasiun ini tidak punya parkiran resmi.

Setelah memarkir Vario di ‘lahan parkir’ itu, saya melepas helm dan jaket, kemudian meletakkannya di boks yang dipasang pada bagian belakang skuter. Dengan tenang dan santai, saya berjalan masuk ke dalam stasiun. “Duh, sakit perut. Ke toilet dulu ah sambil baca e-paper,” pikir saya setelah berjalan kira-kira 100 meter.

Deg! Jantung saya mau copot rasanya menyadari ponsel saya tidak ada di saku celana. “Astaga! Masih di kantong kiri Vario!” pikir saya. Sontak saya berlari sekencang mungkin menuju ‘lahan parkir’ tadi, hanya untuk melihat kantong kiri Vario saya kosong.

Sambil masih tersengal-sengal saya membuka tas, meraba kantong celana, membuka jok motor, dan membuka boks tempat helm dan jaket. Ponsel saya tetap tidak ada. Saya mencoba meneleponnya dengan ponsel saya lainnya, tetapi tidak terasa ada getaran di kantong maupun tas.

Boks di belakang skuter matic untuk menyimpan helm dan jaket
Melihat saya panik, juru parkir bertanya apa yang saya cari. Saya bilang ponsel saya, tadi saya tinggalkan di kantong kiri skuter. “Wah, tadi ada orang mau parkir di sebelah motor Mas, sih. Tapi terus dia pergi lagi,” ujar juru parkir itu. Sudah dipastikan, ponsel saya dicuri.

Saya terus menghubungi ponsel saya yang raib itu, bahkan mengirim pesan yang berbunyi “Tolong kembalikan HP saya, saya beri Anda Rp 1 juta.” Melalui fitur Find My Device yang dimiliki setiap akun Google, saya mencoba mendapatkan lokasi ponsel saya tersebut. Ternyata ponsel saya telah dibawa ke Jl. Tanah Tinggi.

Tidak ada jawaban. Dengan segera saya tancap gas menuju lokasi yang dideteksi Google Maps. Sampai di Jl. Tanah Tinggi, saya malah kebingungan karena jalan itu lebih ramai dari yang saya kira. Saya kembali menghubungi nomor ponsel saya. Terlambat, ponsel sudah dinonaktifkan. Google tidak lagi dapat melacak lokasi ponsel saya.

Masih duduk di atas jok Vario, dengan berat hati saya menelepon customer service XL dan meminta nomor saya diblokir. Sudah lewat pukul 10.00 WIB dan saya belum dapat berita. Tentu saja dalam kondisi apa pun, saya pikir, profesionalisme sebagai wartawan tetap harus dipenuhi.

Fitur Find My Device pada Google mengizinkan pengguna melacak lokasi ponsel yang hilang selama ponsel tersebut aktif. Ponsel saya terakhir terlacak di lokasi yang ditandai di sebelah kanan peta.


Saya pun kembali ke Stasiun Pasar Senen dengan perasaan getir, memarkir Vario di ‘lahan parkir’, dan masuk ke stasiun. Sakit perut sudah digantikan sakit hati dan sesal.

Saat menemui Wakil Kepala Stasiun Pasar Senen, Darwoto, saya menyempatkan bertanya kenapa di stasiun itu tidak ada parkiran motor resmi. “Lha? Kan di pintu utara ada parkiran motor, Mas. Yang di selatan itu buat pintu masuk mobil,” jawab Darwoto.

Saya melongo saja, kemudian merespons dengan ‘Ooooh’ panjang. “Dasar Bodoh!” pikir saya pada diri sendiri. Setelah mewawancarai Darwoto, segera saya kembali ke ‘lahan parkir’ dan memindahkan skuter ke lahan parkir motor yang sejati. Nasi sudah menjadi bubur, liputan harus tetap jalan.

Untungnya, saya larut dalam liputan. Rasa sesal diganti heran melihat banyaknya pemudik yang menunggu sambil ngemper, menggelar koran sebagai alas duduk dan bahkan tidur untuk anak-anaknya selagi menunggu jadwal keberangkatan. Antrean panjang pembatalan tiket yang sampai 800 nomor antrean juga membuat saya nggumun. Sebab, mudik tidak membudaya dalam keluarga saya yang tidak ikut merayakan Lebaran.

Anak-anak tidur beralaskan koran di Stasiun Pasar Senen, Senin (4/6/2018).


Di sela-sela liputan, saya menyempatkan diri melapor kehilangan ponsel di Kepolisian Sektor (Polsek) Senen. Barangkali, kepolisian punya alat yang dapat mendeteksi nomor IMEI ponsel.

Bapak polisi yang menerima saya saat itu sudah pesimistis lebih dulu. “Enggak bisa, Mas. Biasanya kalau HP hilang, ya direlakan saja. Kami tidak punya alat untuk melacak,” kata dia. Saya pun meninggalkan Polsek Senen dengan kepala tertunduk.

Setelah liputan dan menulis hasil reportase, saya kembali ke kost. Agak hampa rasanya tidak memegang ponsel saya yang sudah hilang. Bukannya ponsel itu mahal, tetapi datanyalah yang mahal. Semua foto momen-momen masa kuliah di Yogyakarta, bahkan saat hari saya dinyatakan lulus sidang skripsi hingga wisuda ada di ponsel itu. Semua foto itu belum di-back-up.

Yang berlalu biarlah berlalu, pikir saya. Toh, apa yang kita genggam erat suatu saat akan diambil dari kita. Setidaknya, malam itu saya bisa tersenyum melihat sebagian besar tulisan saya dimuat di Kompas, harian yang sudah saya baca sejak duduk di bangku SD. (E03)

Para calon wartawan Tajuk 18 berfoto di kelas setelah memberi kue ulang tahun pada ketua kelas kami, Sharon Patricia.