Aku sendiri nggak percaya bisa menulis tentang hal-hal semacam ini.
Tapi semoga, kalau kalian membaca, tulisan ini bisa memberikan perspektif baru. Selain itu, mumpung masih 40-an hari sebelum demisioner, semoga tulisan ini punya semangat yang sama dengan HIPFEST 2016 demi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Btw, HIPFEST 2016 Ignite The Revival, 25 November 2016, Jogja National Museum.
Masyarakat kita tidak
lagi asing dengan berbagai standar estetika dan kecantikan manusia, terutama
terhadap wanita. Maraknya pengeksposan kecantikan melalui iklan, majalah, video
klip musik, dan kontes kecantikan (seperti Putri Indonesia dan Miss Universe)
menunjukkan bagaimana kita terus didikte oleh mereka yang memegang kontrol akan
agenda. Mainstream media menjadi agen
yang sangat krusial dalam menyebarluaskan narasi mengenai standar kecantikan.
Lebih jauh lagi, secara tidak sadar kita sangat terpengaruh dan memegang teguh
standar yang telah dikonstruksikan media. Fakta ini termanifestasi melalui
media sosial seperti Instagram di mana siapapun dapat mengeksploitasi standar
kecantikan untuk kepentingannya, atau bahkan sekedar mengeksposnya, sedangkan
kita terus mendukung struktur ini dengan likes
yang kita berikan.
Saya berpendapat bahwa
standar kecantikan merupakan konstruksi sosial, sebuah struktur yang dibentuk
manusia (melalui mainstream media maupun
media sosial) yang pada gilirannya akan memengaruhi cara berpikir dan kognisi
manusia. Standar kecantikan menciptakan ketidakadilan di masyarakat, dengan
seorang yang dianggap cantik akan dianggap lebih favourable, desirable,
dan bahkan mendapatkan kesempatan-kesempatan tertentu secara eksklusif.
Standar kecantikan
dapat dipandang sebagai suatu konstruksi sosial, sesuai dengan teori
konstruktivisme sosial yang cukup applicable
dalam memahami berbagai fenomena sosial. Teori ini berusaha untuk mengonseptualisasi
hubungan antara agen dan struktur (Barnett 2014,
157) .
Interaksi manusia sebagai agen akan menciptakan budaya, norma, dan berbagai
cara untuk memaknai realitas yang telah mapan di masyarakat seperti persepsi
mengenai baik dan buruk. Konsekuensinya, terbentuklah social facts yang sekalipun abstrak tetap terasa nyata. Demikianlah
cara masyarakat (society) menyepakati
fakta sosial sebagai suatu kenyataan. Standar kecantikan juga merupakan suatu fakta
sosial yang terbentuk sebagai suatu pandangan umum dan disepakati oleh
masyarakat.
Hal tersebut seakan
mengikis relativitas ukuran kecantikan dan attractiveness
yang sebenarnya berbeda bagi tiap individu. Ide-ide mengenai relativitas ini
tidak lagi menjadi otonomi masing-masing individu, tetapi juga dibentuk secara
kolektif dalam masyarakat. Di sinilah interaksi antara agen dan struktur
terjadi hingga terbentuk standar kecantikan. Agen-agen yang berpengaruh besar
adalah media yang memiliki aspek visual seperti televisi, majalah, hingga iklan
di billboard sekitar kota. Sebagai
konstruksi sosial, ide mengenai kecantikan dan attractiveness juga tidak lepas dari tren globalisasi (Yan dan
Bissel 2014) .
Dengan begitu, terdapat beberapa kesamaan antara standar kecantikan di negara
satu dengan lainnya, dengan Barat sebagai acuan utama. Di Indonesia, standar
kecantikan pun cukup serupa dengan negara lain seperti Amerika Serikat.
Beberapa ukuran seperti tubuh langsing atau kurus, badan tinggi, kulit cerah
(biasa disebut dengan istilah ‘putih’ (white)),
hidung mancung, dan lain-lain. To a
lesser extent, fitur lain seperti rambut pun juga dapat menentukan cantik
atatu tidaknya seorang wanita, khususnya di Indonesia. Misalnya rambut lurus
sampai berombak sebagai fitur fisik yang lebih favourable daripada keriting.
Media dengan baik
mengokohkan konstruksi ini dengan mengekspos public figure yang dianggap cantik dan memenuhi standard tersebut,
misalnya melalui iklan yang dibintangi penyanyi dan aktris seperti Raisa
Andriana dan Chelsea Islan. Kedua contoh public
figure tersebut tentunya memiliki beauty
and attractiveness standard yang diterima secara luas oleh masyarakat
Indonesia. Di area lain seperti pemberitaan, pembawa berita pun cenderung
memiliki standar kecantikan yang telah disebutkan,[1] misalnya
Grace Natalie dan Indy Rahmawati yang menjadi news anchor di stasiun televisi swasta TVone. Hal ini juga dapat
dijumpai di negara-negara lain melalui media cetak seperti majalah wanita,
misalnya Cosmopolitan yang tersebar
di lebih dari 100 negara, diterbitkan dalam 63 bahasa, dan memiliki 36 edisi
internasional (Yan dan Bissel 2014) . Berdasarkan riset
yang dilakukan Yan dan Bissel (2014), majalah fashion internasional seperti Vogue,
Elle, Cosmopolitan, dan Glamour
cenderung menggunakan model dengan physical
appearance serupa, seperti Victoria Beckham, Kate Moss, Kate Hudson, dan
Jennifer Lopez. Hal ini menunjukkan kemampuan media dan globalisasi membentuk
dan menyebarluaskan beauty culture,
serta menciptakan standar di berbagai negara.
Tidak hanya media
massa, kehadiran media sosial seperti Instagram memberikan kita ruang untuk
terus mempertahankan standar-standar ini. Tab ‘Explore’ Instagram misalnya, memperlihatkan foto-foto wanita muda
dengan tubuh langsing, kulit putih, rambut lurus atau berombak, bermata lebar,
kadan dengan aksentuasi lensa kontak, hingga bertubuh tinggi yang memiliki
ribuan likes. Akun-akun ini juga
cenderung memiliki pengikut yang mencapai belasan ribu. Selain itu, mereka
memberikan layanan endorsement bagi
produk-produk kecantikan seperti lipstik, masker wajah, dan pensil alis yang
dijual secara online. Bukan hanya
produk kecantikan, tetapi juga aparel, tas, baju-baju wanita, hingga endorsement bagi kafe.
Terdapat
pola yang sama pada mainstream media dan
media sosial: wanita yang memiliki standar kecantikan yang diterima secara luas
akan dianggap menjadi daya tarik tertentu bagi berbagai kepentingan khususnya
ekonomi. Tidak hanya menunjukkan standar kecantikan yang sudah mapan di
Indonesia, celakanya struktur ini menciptakan ketidakadilan di masyarakat
Indonesia, misalnya dalam kesempatan-kesempatan kerja. Berbagai riset
menyatakan bahwa persepsi mengenai
kecantikan dan attractiveness membuat
seseorang yang memilikinya mendapatkan penilaian yang lebih favourable, dianggap lebih diinginkan (desirable), dan bahkan lebih sukses
dalam berbagai interaksi sosial (Yan dan Bissel 2014) .
Hal inilah yang
ditunjukkan oleh berbagai media kini dan dapat dijelaskan secara sederhana.
Tokoh-tokoh utama wanita dalam sinetron-sinetron Indonesia cenderung memiliki
standar-standar kecantikan yang telah disebutkan di atas. Sedangkan, kita
sangat jarang menemui aktris dengan tubuh gemuk mendapatkan peran utama
tersebut. Hal yang sama terjadi pada periklanan dan pekerjaan lain seperti
pembawa berita. Ditambah lagi, belum pernah ada televisi nasional yang memiliki
pembawa berita dengan etnisitas Indonesia Timur, misalnya etnis Melanesia yang
memiliki kulit gelap dan rambut keriting, apalagi sebagai bintang iklan produk kecantikan
seperti shampo. Terciptalah pembatasan kesempatan pada orang-orang dengan
penampilan fisik tertentu, di mana mereka lebih diuntungkan, bahkan keadaan ini
memungkinkan terjadinya segregasi rasial di Indonesia yang mengakibatkan
ketidakadilan. Media sosial juga menunjukkn bahaya ini. Hampir tidak pernah
kita menemukan seseorang wanita yang obese
atau sekedar berbadan gemuk menjadi iklan-iklan baju yang sedang à la mode.
Secara tidak sadar,
kita telah menjadi masyarakat yang akrab dengan objektivikasi seksual,
menjadikan penampilan fisik wanita sebagai objek yang dihargai hanya dari
kegunaannya bagi orang lain (Syzmanski, Moffitt dan Carr 2011) . Hal ini sangat jelas
dalam promosi dan periklanan, serta kegiatan media lainnya. Seakan-akan kita
memisahkan tubuh wanita dari dirinya sendiri sekedar sebagai alat untuk menarik
perhatian khayalak atau bahkan laki-laki. Proses inilah yang mungkin dapat
menghilangkan kemampuan suatu masyarakat untuk menghargai wanita sebagai social being. Dengan pengetahuan ini,
mungkin kita tidak dapat menghancurkan struktur yang sudah ada dan kokoh
berdiri di society kita. Akan tetapi,
akan lebih bijaksana apabila kita dapat menghargai manusia, terutama wanita,
bukan dari penampakan fisiknya saja, melainkan menghargainya sebagai manusia
yang setara satu dengan lainnya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa standar
kecantikan telah memengaruhi society kita
dan membuat kita melihat penampilan fisik sebagai komoditas yang dapat
dieksploitasi. Sebaiknya kita tidak terjebak di dalam struktur ini.
Referensi
Barnett, Michael. "Social
Constructivism." In Globalization of World Politics: An Introduction
to International Relations, by John Baylis, Steve Smith and Patricia
Owens, 155-168. Oxford: Oxford University Press, 2014.
Syzmanski, Dawn m, Lauren B Moffitt, dan Erika R Carr. “Sexual
Objectification of Women: Advances to Theory and Research.” The Counseling
Psychologist 39, no. 1 (2011): 6-38.
Yan, Yan, dan Kim Bissel. “The Globalization of Beauty: How is Ideal
Beauty Influenced by Globally Published Fashion and Beauty Magazines?” Journal
of Intercultural Communication Research 43, no. 3 (2014): 194-214.
[1] Hal ini dikuatkan dengan artikel online yang saya temukan, dengan judul “8 Presenter TVone paling cantik” (URL:
http://www.portalfia.com/2015/07/8-presenter-tvone-paling-cantik_24.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar