Sabtu, 22 Oktober 2016

Standar Kecantikan, Konstruksi Sosial, dan Keadilan

Aku sendiri nggak percaya bisa menulis tentang hal-hal semacam ini.

Tapi semoga, kalau kalian membaca, tulisan ini bisa memberikan perspektif baru. Selain itu, mumpung masih 40-an hari sebelum demisioner, semoga tulisan ini punya semangat yang sama dengan HIPFEST 2016 demi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Btw, HIPFEST 2016 Ignite The Revival, 25 November 2016, Jogja National Museum.

Masyarakat kita tidak lagi asing dengan berbagai standar estetika dan kecantikan manusia, terutama terhadap wanita. Maraknya pengeksposan kecantikan melalui iklan, majalah, video klip musik, dan kontes kecantikan (seperti Putri Indonesia dan Miss Universe) menunjukkan bagaimana kita terus didikte oleh mereka yang memegang kontrol akan agenda. Mainstream media menjadi agen yang sangat krusial dalam menyebarluaskan narasi mengenai standar kecantikan. Lebih jauh lagi, secara tidak sadar kita sangat terpengaruh dan memegang teguh standar yang telah dikonstruksikan media. Fakta ini termanifestasi melalui media sosial seperti Instagram di mana siapapun dapat mengeksploitasi standar kecantikan untuk kepentingannya, atau bahkan sekedar mengeksposnya, sedangkan kita terus mendukung struktur ini dengan likes yang kita berikan.
Saya berpendapat bahwa standar kecantikan merupakan konstruksi sosial, sebuah struktur yang dibentuk manusia (melalui mainstream media maupun media sosial) yang pada gilirannya akan memengaruhi cara berpikir dan kognisi manusia. Standar kecantikan menciptakan ketidakadilan di masyarakat, dengan seorang yang dianggap cantik akan dianggap lebih favourable, desirable, dan bahkan mendapatkan kesempatan-kesempatan tertentu secara eksklusif.
Standar kecantikan dapat dipandang sebagai suatu konstruksi sosial, sesuai dengan teori konstruktivisme sosial yang cukup applicable dalam memahami berbagai fenomena sosial. Teori ini berusaha untuk mengonseptualisasi hubungan antara agen dan struktur (Barnett 2014, 157). Interaksi manusia sebagai agen akan menciptakan budaya, norma, dan berbagai cara untuk memaknai realitas yang telah mapan di masyarakat seperti persepsi mengenai baik dan buruk. Konsekuensinya, terbentuklah social facts yang sekalipun abstrak tetap terasa nyata. Demikianlah cara masyarakat (society) menyepakati fakta sosial sebagai suatu kenyataan. Standar kecantikan juga merupakan suatu fakta sosial yang terbentuk sebagai suatu pandangan umum dan disepakati oleh masyarakat.
Hal tersebut seakan mengikis relativitas ukuran kecantikan dan attractiveness yang sebenarnya berbeda bagi tiap individu. Ide-ide mengenai relativitas ini tidak lagi menjadi otonomi masing-masing individu, tetapi juga dibentuk secara kolektif dalam masyarakat. Di sinilah interaksi antara agen dan struktur terjadi hingga terbentuk standar kecantikan. Agen-agen yang berpengaruh besar adalah media yang memiliki aspek visual seperti televisi, majalah, hingga iklan di billboard sekitar kota. Sebagai konstruksi sosial, ide mengenai kecantikan dan attractiveness juga tidak lepas dari tren globalisasi (Yan dan Bissel 2014). Dengan begitu, terdapat beberapa kesamaan antara standar kecantikan di negara satu dengan lainnya, dengan Barat sebagai acuan utama. Di Indonesia, standar kecantikan pun cukup serupa dengan negara lain seperti Amerika Serikat. Beberapa ukuran seperti tubuh langsing atau kurus, badan tinggi, kulit cerah (biasa disebut dengan istilah ‘putih’ (white)), hidung mancung, dan lain-lain. To a lesser extent, fitur lain seperti rambut pun juga dapat menentukan cantik atatu tidaknya seorang wanita, khususnya di Indonesia. Misalnya rambut lurus sampai berombak sebagai fitur fisik yang lebih favourable daripada keriting.

Media dengan baik mengokohkan konstruksi ini dengan mengekspos public figure yang dianggap cantik dan memenuhi standard tersebut, misalnya melalui iklan yang dibintangi penyanyi dan aktris seperti Raisa Andriana dan Chelsea Islan. Kedua contoh public figure tersebut tentunya memiliki beauty and attractiveness standard yang diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia. Di area lain seperti pemberitaan, pembawa berita pun cenderung memiliki standar kecantikan yang telah disebutkan,[1] misalnya Grace Natalie dan Indy Rahmawati yang menjadi news anchor di stasiun televisi swasta TVone. Hal ini juga dapat dijumpai di negara-negara lain melalui media cetak seperti majalah wanita, misalnya Cosmopolitan yang tersebar di lebih dari 100 negara, diterbitkan dalam 63 bahasa, dan memiliki 36 edisi internasional (Yan dan Bissel 2014). Berdasarkan riset yang dilakukan Yan dan Bissel (2014), majalah fashion internasional seperti Vogue, Elle, Cosmopolitan, dan Glamour cenderung menggunakan model dengan physical appearance serupa, seperti Victoria Beckham, Kate Moss, Kate Hudson, dan Jennifer Lopez. Hal ini menunjukkan kemampuan media dan globalisasi membentuk dan menyebarluaskan beauty culture, serta menciptakan standar di berbagai negara.



Tidak hanya media massa, kehadiran media sosial seperti Instagram memberikan kita ruang untuk terus mempertahankan standar-standar ini. Tab ‘Explore’ Instagram misalnya, memperlihatkan foto-foto wanita muda dengan tubuh langsing, kulit putih, rambut lurus atau berombak, bermata lebar, kadan dengan aksentuasi lensa kontak, hingga bertubuh tinggi yang memiliki ribuan likes. Akun-akun ini juga cenderung memiliki pengikut yang mencapai belasan ribu. Selain itu, mereka memberikan layanan endorsement bagi produk-produk kecantikan seperti lipstik, masker wajah, dan pensil alis yang dijual secara online. Bukan hanya produk kecantikan, tetapi juga aparel, tas, baju-baju wanita, hingga endorsement  bagi kafe.
Terdapat pola yang sama pada mainstream media dan media sosial: wanita yang memiliki standar kecantikan yang diterima secara luas akan dianggap menjadi daya tarik tertentu bagi berbagai kepentingan khususnya ekonomi. Tidak hanya menunjukkan standar kecantikan yang sudah mapan di Indonesia, celakanya struktur ini menciptakan ketidakadilan di masyarakat Indonesia, misalnya dalam kesempatan-kesempatan kerja. Berbagai riset menyatakan bahwa  persepsi mengenai kecantikan dan attractiveness membuat seseorang yang memilikinya mendapatkan penilaian yang lebih favourable, dianggap lebih diinginkan (desirable), dan bahkan lebih sukses dalam berbagai interaksi sosial (Yan dan Bissel 2014).
Hal inilah yang ditunjukkan oleh berbagai media kini dan dapat dijelaskan secara sederhana. Tokoh-tokoh utama wanita dalam sinetron-sinetron Indonesia cenderung memiliki standar-standar kecantikan yang telah disebutkan di atas. Sedangkan, kita sangat jarang menemui aktris dengan tubuh gemuk mendapatkan peran utama tersebut. Hal yang sama terjadi pada periklanan dan pekerjaan lain seperti pembawa berita. Ditambah lagi, belum pernah ada televisi nasional yang memiliki pembawa berita dengan etnisitas Indonesia Timur, misalnya etnis Melanesia yang memiliki kulit gelap dan rambut keriting, apalagi sebagai bintang iklan produk kecantikan seperti shampo. Terciptalah pembatasan kesempatan pada orang-orang dengan penampilan fisik tertentu, di mana mereka lebih diuntungkan, bahkan keadaan ini memungkinkan terjadinya segregasi rasial di Indonesia yang mengakibatkan ketidakadilan. Media sosial juga menunjukkn bahaya ini. Hampir tidak pernah kita menemukan seseorang wanita yang obese atau sekedar berbadan gemuk menjadi iklan-iklan baju yang sedang à la mode.
Secara tidak sadar, kita telah menjadi masyarakat yang akrab dengan objektivikasi seksual, menjadikan penampilan fisik wanita sebagai objek yang dihargai hanya dari kegunaannya bagi orang lain (Syzmanski, Moffitt dan Carr 2011). Hal ini sangat jelas dalam promosi dan periklanan, serta kegiatan media lainnya. Seakan-akan kita memisahkan tubuh wanita dari dirinya sendiri sekedar sebagai alat untuk menarik perhatian khayalak atau bahkan laki-laki. Proses inilah yang mungkin dapat menghilangkan kemampuan suatu masyarakat untuk menghargai wanita sebagai social being. Dengan pengetahuan ini, mungkin kita tidak dapat menghancurkan struktur yang sudah ada dan kokoh berdiri di society kita. Akan tetapi, akan lebih bijaksana apabila kita dapat menghargai manusia, terutama wanita, bukan dari penampakan fisiknya saja, melainkan menghargainya sebagai manusia yang setara satu dengan lainnya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa standar kecantikan telah memengaruhi society kita dan membuat kita melihat penampilan fisik sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi. Sebaiknya kita tidak terjebak di dalam struktur ini.

Referensi

Barnett, Michael. "Social Constructivism." In Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, by John Baylis, Steve Smith and Patricia Owens, 155-168. Oxford: Oxford University Press, 2014.

Syzmanski, Dawn m, Lauren B Moffitt, dan Erika R Carr. “Sexual Objectification of Women: Advances to Theory and Research.” The Counseling Psychologist 39, no. 1 (2011): 6-38.

Yan, Yan, dan Kim Bissel. “The Globalization of Beauty: How is Ideal Beauty Influenced by Globally Published Fashion and Beauty Magazines?” Journal of Intercultural Communication Research 43, no. 3 (2014): 194-214.







[1] Hal ini dikuatkan dengan artikel online yang saya temukan, dengan judul “8 Presenter TVone paling cantik” (URL: http://www.portalfia.com/2015/07/8-presenter-tvone-paling-cantik_24.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar