Selasa, 15 November 2016

Lukas atau Je? (Fase Kampanye, 2 lanjutan dari 1)

Aku harap tulisanku yang pertama tadi nggak sampah-sampah banget sehingga kalian masih ada sedikit hasrat untuk baca tulisanku yang kedua, tentang performa kampanye Je sebagai calon nomor urut 2.

Sebelumnya, aku harus mengakui kalau aku nggak datang di beberapa dialog yang diadakan Je dan 
tim kampanyenya. Tetapi untungnya, apresiasi buat tim kampanye Je, aktivitas mereka di medsos mendukung banget supaya publik KOMAHI mengerti apa sih isi dari change yang mau dibuat oleh Je. Beberapa hal yang sangat inovatif seperti vlog menurutku sangat berhasil buat mendekatkan publik dengan Je. Banyaknya materi kampanye juga mengizinkan orang untuk mengenal dan mengkritisinya dari berbagai aspek.

#2

Siapa sih yang tidak kenal Janitra? Maafkan aku sebelumnya. Seandainya kita disuruh memilih antara Lukas dan Je tanpa disajikan masa kampanye sama sekali, massa yang bisa dibilang ‘awam’ tentunya tidak akan kesulitan memilih. Sudah kita ketahui bersama, Je adalah sosok yang cederung populer dengan banyak sekali fans dari angkatan 2015. Naomi pernah cerita ke aku kalau Je beberapa kali mendapatkan semacam surat dari penggemarnya, acknowledging him as tutor idaman or whatever that is (hahaha). Ada juga yang pernah bilang kalau salah satu wanita penggemar Je dari angkatan 2016 ‘kehilangan akal sehatnya’ saat instagramnya di-follow back oleh Je. Kualitasnya sebagai seorang Je pun tidak perlu diragukan: cerdas, kritis, supel, karismatik, you name it.

Berbeda dengan Lukas, Je sudah memiliki konsep besar yang dapat ia tawarkan, yaitu perubahan. Dengan adanya konsep ini, sudah selayaknya kita juga menilai Je dari konsepnya dan berbagai proker yang ia tawarkan, untuk ‘menyeimbangkan’ pandangan kita yang sudah sangat positif terhadap kualitas individual dan personalnya.

Je menawarkan sebuah perubahan yang sifatnya populis. Aku mengasumsikan ia ingin “mengembalikan” KOMAHI kepada masyarakatnya. Aku sendiri sudah berusaha melakukannya, tapi mungkin masih belum menuai sukses. Jadi aku sangat setuju dengan ide ini: melibatkan publik KOMAHI secara aktif.

Namun, kita sebaiknya mulai dari awal.

Let us not talk much on the matters of kekeluargaan dan profesionalisme. Sama seperti Lukas, Je kembali menegaskan dua komponen yang memang penting ini, dan aku rasa ini adalah respon dari kritikku terhadap konsep awalnya yang lebih mengutamakan profesionalisme. Analisis Je tentang dilema kekelurgaan adalah sesuatu yang bagus. Tentunya mudah dikatakan, tidak mudah diatasi. Butuh keberanian besar untuk dapat mengatakan “hey you are supposed to do this but you don’t, go fix it.” Sama seperti konsep dedikasi Lukas, mempercayai bahwa orang lain akan menjaga profesionalisme dengan teguh adalah suatu kesalahan dan sangat tidak strategis. Setelah merasakan sendiri, banyak sekali hal yang aku pikir mudah dilakukan saat kampanye, tetapi nyatanya sangat susah saat sudah menjabat. Mungkin dengan berbekal kharismanya, Je dapat mengatasi dilema itu.

Aku juga harus menyinggung tentang atmosfer kerja yang mendukung, yaitu yang disebutnya ProFUNssional. Ini sangat menarik dan akan sangat baik apabila benar dapat diciptakan. Namun, ada tantangan besar yang harus dihadapi Je. Yang pertama adalah kultur tiap departemen yang berbeda-beda misalnya DEPOR yang selo, INKOM yang profesional, dan lain-lain. Kedua, DPSDM tidak memiliki kewenangan untuk memberikan reward kepada departemen/BSO yang kerjanya baik, dikarenakan DPSDM adalah departemen juga dan tiap departemen/BSO memiliki proker yang tidak dapat di-ekuivalen-kan beban kerjanya. Oleh karena itu, Je harus dapat bersinergi dengan MPMHI sebagai badan yang tugasnya melakukan observasi kepada KOMAHI. Yang ketiga, dituliskan bahwa setiap pengurus ‘harus’ memiliki work ethic yang mengutamakan proker KOMAHI. Tantangannya adalah jumlah pengurus KOMAHI yang banyak. Mengharuskan setiap orang untuk memiliki work ethic yang dimaksud Je cukup sulit karena KOMAHI tidak punya mekanisme pengaderan. Oleh karena itu, cara lain seperti pendekatan personal dan memberi contoh dapat menjadi suatu cara. Butuh kerja keras, bukan hanya cerdas.

Aspek kekeluargaan maupun profesionalisme tadi akan selalu ada di KOMAHI, tidak akan banyak berubah. Mari kita lihat apa yang dianggap Je sebagai sebuah perubahan yang melibatkan anggota dan pengurus KOMAHI.

Yang pertama adalah pengerjaan proker secara integratif. Mengenai aspek ini, aku mengasumsikan bahwa Je menginginkan adanya proker yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh beberapa departemen dan BSO. Hal ini selalu diangkat dari tahun ke tahun oleh calon-calon sebelumnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekompakan internal KOMAHI. Aku pun menginginkan hal ini saat masa kampanye. Tetapi setelah menjalankan KOMAHI, ternyata sangat, sangat sulit melakukannya. Setiap departemen dan BSO KOMAHI sudah punya program-program yang mapan dan tinggal dilanjutkan. Padatnya berbagai program KOMAHI yang jumlahnya mencapai 50 lebih membuat usaha ini sangat sulit dilakukan. Tetapi, kita sebenarnya punya beberapa yang sudah berjalan, seperti buddy system dan social work antara DPSDM dan SOSMAS, TDKV dengan berbagai proker KOMAHI, dan juga marketing and communication INKOM dalam mempublikasikan berbagai proker KOMAHI. It should be taken into account. Bukan barang baru, tetapi akan sangat baik apabila Je akhirnya bisa membuat inovasi dalam aspek ini dan kemudian berhasil memunculkan satu program yang dilaksanakan bersama.

Yang kedua adalah revitalisasi hubungan eksternal. Dalam salah satu vlog nya, Je menjawab pertanyaan mengenai hubungan eksternal KOMAHI di FISIPOL. Je mengatakan bahwa sebenarnya berbagai HMD di FISIPOL menginginkan hubungan yang baik dengan KOMAHI dan bahkan bekerjasama. Je juga mengkritik bahwa KOMAHI terkesan eksklusif dan sudah ‘di atas angin,’ mapan dengan segala program kerja internal KOMAHI. Aku percaya tujuan Je sangat baik, akan tetapi sayangnya hal ini sudah berjalan dan bahkan KOMAHI tidak seeksklusif yang Je bayangkan. Di kepengurusan tahun ini, KOMAHI berhasil bekerjasama dengan beberapa HMD atau UKM di FISIPOL: IRCCT dengan Tema Kereta Cepat mengundang Obed Kresna yang tahun ini juga menjabat Presiden KOMAP; Movie Week mengundang CEARS untuk memberi insight mengenai film Letters from Iwo Jima; beberapa screening HI CINE dilaksanakan dalam kerjasama dengan KOMAKO; pelatihan film HI CINE mengundang FIAGRA dari Fakultas Teknik; Studi Banding INKOM dilaksanakan di antaranya bersama KOMAP dan GAMAPI; dan yang terakhir INKA mencoba bekerjasama dengan KOMAP untuk membentuk suatu proker yang sayangnya kemudian gagal. Intinya, ide ini tidaklah baru dan daripada merevitalisasi, seharusnya Je mengusulkan keberlanjutan. Hal yang aku sayangkan. Sebagai calon ketua KOMAHI seharusnya dia mengetahui hal ini dan mengkritik pelaksanaannya. Jadi, sebenarnya kita tidak begitu ‘di atas angin,’ melainkan sudah berpijak di tanah.

Ketiga, Je mengangkat aspek Partisipasi Anggota KOMAHI. Dia menegaskan bahwa program KOMAHI seharusnya disesuaikan dengan demand anggota KOMAHI sebagai konstituennya sehingga partisipasi anggota bisa meningkat. Dalam salah satu videonya yang bertajuk “Mengapa KOMAHI tidak berpengaruh padaku sebagai Mahasiswa HI,” Je menegaskan hal ini. Baginya, hal ini terjai karena KOMAHI belum dapat menyesuaikan programnya dengan demand anggotanya. Dalam video itu, dia memberi contoh (‘misalnya’) IRCCT. Bagi Je, sebelum melaksanakan diskusi IRCCT seharusnya KOMAHI atau INKA melakukan survey terlebih dahulu topik apa yang mau dibahas oleh anggota KOMAHI. Dengan demikian, jika KOMAHI dapat menuruti demand tersebut, partisipasi anggota akan meningkat. Nah, bagi kalian terutama angkatan 2016, contoh ini, sekalipun contoh, bisa dibilang sah-sah saja. Bagiku, ini sebuah blunder: mengapa harus IRCCT yang dijadikan contoh? IRCCT adalah salah satu proker yang program officer –nya paling rajin membuat survey terutama saat tidak ada isu hangat di suatu periode. Nah, kebiasaan membuat survey ini sudah dilaksanakan sejak dua atau tiga tahun lalu. Departemen lain pun mengikuti, misalnya DEPOR yang waktu itu hendak mengadakan Systema (dibatalkan karena peminat sedikit), kemudian INKOM mengenai tujuan HI Visit. Sekali lagi aku menyayangkan ketidaktahuan tim kampanye Je pada aktvitas KOMAHI selama ini. Padahal banyak dari mereka yang cukup aktif di departemen yang mengadakan program-program tersebut. Ya, seharusnya Je dan tim kampanyenya tahu.

Pada titik ini, aku menilai bahwa materi kampanye Je sebenarnya jauh lebih komprehensif dan kompleks daripada Lukas. Sangat banyak tantangan yang harus dihadapi Je untuk membawa apa yang ia sebut perubahan. Tapi perubahan yang seperti apa? Perubahan yang bagaimana? Konsep-konsep dasar yang ia usulkan memang baik, tapi beberapa hal yang sifatnya lebih practical hanya berlaku buat mereka yang belum tahu apa yang sudah dilakukan KOMAHI. Nyatanya apa yang Je sebut sebagai change sudah pernah dilakukan KOMAHI sebelumnya.

Yang dikatakan Eghi di video kampanye Je memang benar.

Karena cinta aja nggak cukup. To make a change, you have to know what needs to change.

Jadi, PR Je yang terbesar adalah mengidentifikasikan perubahan apa yang sebenarnya ia inginkan. Apa yang dia sebut perubahan sayangnya buat aku malah tampak sebagai ketidaktahuannya. Ini juga menjadi tugas Bima, Eghi, Arum, dan segenap tim kampanyenya yang sudah berkecmpung di KOMAHI juga.

Tambahan PR untuk Bima sebagai ketua angkatan. Tidak salah tentunya menjadi bagian dari tim kampanye Je. Secara kebiasaan, ketua angkatan biasanya mengambil posisi netral selama kampanye. Setidaknya sejak angkatan 2013. Oleh karena itu, setelah hasil pemilihan keluar, Bima harus dapat memastikan angkatannya dapat menerima hasil tersebut dengan lapang dada. Sungguh, tidak apa-apa memihak Je. Tetapi Bima harus mengetahui tugas moralnya sebagai ketua angkatan. Butuh kedewasaan juga dari kedua tim sukses untuk menerima hasil suksesi nantinya.

Hal yang sama berlaku buat Fakhri sebagai ketua angkatan 2016. Dia harus dapat memastkan apapun hasilnya, kontribusi angkatan 2016 ke KOMAHI tidak berkurang. Begitu juga untuk tahun 2018 saat angkatannya harus menjadi pengurus inti KOMAHI, kecuali Coory mau mencalonkan diri.

Kontribusi

Isu selanjutnya yang penting adalah kontribusi Je dan Lukas. Je aktif di beberapa proker KOMAHI. Baru-baru ini di paruh kedua kepengurusan tahun ini dia mengikuti kegiatan diplomatic affairs KOMAHI baik di rapat kordinasi wilayah IV daerah Jateng dan DIY, kemudian dia terlibat dalam Journalistic Team INKA untuk majalah Airport, HIKustik sebagai pemusik, dan lain-lain. Sebagai anggota, Je juga berhasil memimpin makrab yang sedemikian rupa sehingga dapat mendekatkan angkatan 2016 dengan 2015. Kontribusi ini sangat baik dan harus diperhitungkan. Je sendiri berhasil mengikuti berbagai proker dari departemen/BSO yang berbeda. Dia juga terlibat dalam GAMA DC, di European Parliament. Jadi, Je sebenarnya sudah berkontribusi dalam proker-proker KOMAHI. Hal yang membedakannya dengan Lukas adalah tingkat engagement-nya di departemennya (INKOM, Diplomatic Affairs) yang mungkin tidak sedalam Lukas di INKA maupun HI-CINE. But of course it does not make Je less than Lukas. Hanya saja, terdapat dampak yang paling jelas: Je sebenarnya masih belum begitu familiar dengan proker-proker KOMAHI karena kesempatannya di INKOM yang terbilang recent. Namun, Lukas gagal mengambil keuntungan dari keadaan ini. Branding Lukas malah tidak memaparkan pengertiannya mengenai proker KOMAHI. Nah, keadaan ini malah membuat aku ragu, apakah Lukas yang tinggi engagement-nya di INKA dan HI CINE sudah benar-benar mengerti tentang proker KOMAHI? Mungkin tidak, mungkin iya.

Satu lagi hal yang sejak awal gagal diidentifikasi oleh kedua calon. Proker KOMAHI yang cenderung sepi mungkin bukan karena kurang selarasnya demand anggota dengan proker KOMAHI, tapi karena simply KOMAHI tidak mendapatkan perhatian dari para anggotanya. Wajar memang karena tiap orang punya kesibukan masing-masing.  Tapi ada sesuatu yang membuat KOMAHI tidak diperhatikan oleh anggotanya sendiri, entah apa itu. Oleh karena itu, kalau tahun ini angkatan 2016 terlihat lebih antusias (magang diikuti lebih dari 80 orang, pendaftar lebih dar 75 orang), aku rasa Lukas atau Je, siapapun yang terpilih, boleh berterima kasih terhadap pelaksana program Rumah HI, 26 Agustusan, dan juga, yang paling penting, para dosen dari Departemen Ilmu HI yang dengan tanggap langsung turun ke lapangan mendekatkan diri dengan mahasiswa baru, making them feel at home. Ini menjadi modal yang baik buat KOMAHI ke depan, and they need to make the best out of it.

Oke, kalian boleh menilai mungkin kritikku terhadap Je lebih berat daripada Lukas, atau bahkan kalian juga menilai aku condong ke salah satu calon. Tapi ya sudah wajar kan kalau kritikku lebih berat sebelah? Aku nggak akan bisa memberikan review 1000 kata dari bacaan yang cuma 1 paragraf kecuali aku mahasiswa sastra atau seni.

Aku harap tulisan ini bisa membantu kalian sedikit banyak untuk memahami kedua calon, mengevaluasi mereka, dan akhirnya menentukan siapa yang pantas menjadi ketua KOMAHI. Untuk kedua calon, aku harap ini bisa menjadi evaluasi bagi kalian untuk menanggapi massa yang tidak datang ke kampanye langsung dan dialog-dialog kalian. Aku sendiri masih harus menunggu debat. Kalau kalian sudah menentukan pilihan, ujilah pilihan kalian di debat. Kalau kalian belum memilih, pastikan kalian datang ke debat untuk menghakimi mereka dan menentukan pilihan. Kalau belum, cobalah sholat istiqarah atau doa Rosario atau meditasi.

Masih ada waktu sampai tanggal 24 November. Kalau belum juga…. kancing baju masih bisa membantu.

Enggak deng. Tegaslah pada diri sendiri, tentukan pilihanmu!

Bukan KOMAHInya Je, bukan KOMAHInya Lukas.


Ini KOMAHI kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar