Aku harap tulisanku yang pertama tadi nggak
sampah-sampah banget sehingga kalian masih ada sedikit hasrat untuk baca
tulisanku yang kedua, tentang performa kampanye Je sebagai calon nomor urut 2.
Sebelumnya, aku harus mengakui kalau aku
nggak datang di beberapa dialog yang diadakan Je dan
tim kampanyenya. Tetapi
untungnya, apresiasi buat tim kampanye Je, aktivitas mereka di medsos mendukung
banget supaya publik KOMAHI mengerti apa sih isi dari change yang mau dibuat oleh Je. Beberapa hal yang sangat inovatif
seperti vlog menurutku sangat berhasil buat mendekatkan publik dengan Je. Banyaknya
materi kampanye juga mengizinkan orang untuk mengenal dan mengkritisinya dari
berbagai aspek.
#2
Siapa sih yang tidak kenal Janitra? Maafkan
aku sebelumnya. Seandainya kita disuruh memilih antara Lukas dan Je tanpa
disajikan masa kampanye sama sekali, massa yang bisa dibilang ‘awam’ tentunya
tidak akan kesulitan memilih. Sudah kita ketahui bersama, Je adalah sosok yang
cederung populer dengan banyak sekali fans dari angkatan 2015. Naomi pernah
cerita ke aku kalau Je beberapa kali mendapatkan semacam surat dari
penggemarnya, acknowledging him as tutor
idaman or whatever that is (hahaha). Ada
juga yang pernah bilang kalau salah satu wanita penggemar Je dari angkatan 2016
‘kehilangan akal sehatnya’ saat instagramnya di-follow back oleh Je. Kualitasnya sebagai seorang Je pun tidak perlu
diragukan: cerdas, kritis, supel, karismatik, you name it.
Berbeda dengan Lukas, Je sudah memiliki
konsep besar yang dapat ia tawarkan, yaitu perubahan. Dengan adanya konsep ini,
sudah selayaknya kita juga menilai Je dari konsepnya dan berbagai proker yang
ia tawarkan, untuk ‘menyeimbangkan’ pandangan kita yang sudah sangat positif terhadap
kualitas individual dan personalnya.
Je menawarkan sebuah perubahan yang
sifatnya populis. Aku mengasumsikan ia ingin “mengembalikan” KOMAHI kepada
masyarakatnya. Aku sendiri sudah berusaha melakukannya, tapi mungkin masih
belum menuai sukses. Jadi aku sangat setuju dengan ide ini: melibatkan
publik KOMAHI secara aktif.
Namun, kita sebaiknya mulai dari awal.
Let
us not talk much on the matters of kekeluargaan dan
profesionalisme. Sama seperti Lukas, Je kembali menegaskan dua komponen yang
memang penting ini, dan aku rasa ini adalah respon dari kritikku terhadap
konsep awalnya yang lebih mengutamakan profesionalisme. Analisis Je tentang
dilema kekelurgaan adalah sesuatu yang bagus. Tentunya mudah dikatakan, tidak
mudah diatasi. Butuh keberanian besar untuk dapat mengatakan “hey you are supposed to do this but you don’t,
go fix it.” Sama seperti konsep dedikasi Lukas, mempercayai bahwa orang
lain akan menjaga profesionalisme dengan teguh adalah suatu kesalahan dan
sangat tidak strategis. Setelah merasakan sendiri, banyak sekali hal yang
aku pikir mudah dilakukan saat kampanye, tetapi nyatanya sangat susah saat
sudah menjabat. Mungkin dengan berbekal kharismanya, Je dapat mengatasi dilema
itu.
Aku juga harus menyinggung tentang atmosfer
kerja yang mendukung, yaitu yang disebutnya ProFUNssional. Ini sangat menarik
dan akan sangat baik apabila benar dapat diciptakan. Namun, ada tantangan besar
yang harus dihadapi Je. Yang pertama adalah kultur tiap departemen yang
berbeda-beda misalnya DEPOR yang selo,
INKOM yang profesional, dan lain-lain. Kedua, DPSDM tidak memiliki kewenangan
untuk memberikan reward kepada
departemen/BSO yang kerjanya baik, dikarenakan DPSDM adalah departemen juga dan
tiap departemen/BSO memiliki proker yang tidak dapat di-ekuivalen-kan beban
kerjanya. Oleh karena itu, Je harus dapat bersinergi dengan MPMHI sebagai badan
yang tugasnya melakukan observasi kepada KOMAHI. Yang ketiga, dituliskan bahwa
setiap pengurus ‘harus’ memiliki work
ethic yang mengutamakan proker KOMAHI. Tantangannya adalah jumlah pengurus
KOMAHI yang banyak. Mengharuskan setiap orang untuk memiliki work ethic yang dimaksud Je cukup sulit
karena KOMAHI tidak punya mekanisme pengaderan. Oleh karena itu, cara lain
seperti pendekatan personal dan memberi contoh dapat menjadi suatu cara. Butuh
kerja keras, bukan hanya cerdas.
Aspek kekeluargaan maupun profesionalisme tadi akan selalu ada di KOMAHI, tidak akan banyak berubah. Mari kita lihat apa
yang dianggap Je sebagai sebuah perubahan yang melibatkan anggota dan pengurus
KOMAHI.
Yang pertama adalah pengerjaan proker
secara integratif. Mengenai aspek ini, aku mengasumsikan bahwa Je menginginkan
adanya proker yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh beberapa departemen
dan BSO. Hal ini selalu diangkat dari tahun ke tahun oleh calon-calon
sebelumnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kekompakan internal KOMAHI. Aku
pun menginginkan hal ini saat masa kampanye. Tetapi setelah menjalankan KOMAHI,
ternyata sangat, sangat sulit melakukannya. Setiap departemen dan BSO KOMAHI
sudah punya program-program yang mapan dan tinggal dilanjutkan. Padatnya berbagai
program KOMAHI yang jumlahnya mencapai 50 lebih membuat usaha ini sangat sulit
dilakukan. Tetapi, kita sebenarnya punya beberapa yang sudah berjalan, seperti buddy system dan social work antara DPSDM dan SOSMAS, TDKV dengan berbagai proker
KOMAHI, dan juga marketing and
communication INKOM dalam mempublikasikan berbagai proker KOMAHI. It should be taken into account. Bukan barang baru, tetapi akan
sangat baik apabila Je akhirnya bisa membuat inovasi dalam aspek ini dan
kemudian berhasil memunculkan satu program yang dilaksanakan bersama.
Yang kedua adalah revitalisasi hubungan
eksternal. Dalam salah satu vlog nya, Je menjawab pertanyaan mengenai hubungan
eksternal KOMAHI di FISIPOL. Je mengatakan bahwa sebenarnya berbagai HMD di
FISIPOL menginginkan hubungan yang baik dengan KOMAHI dan bahkan bekerjasama.
Je juga mengkritik bahwa KOMAHI terkesan eksklusif dan sudah ‘di atas angin,’ mapan dengan segala program kerja internal KOMAHI. Aku percaya tujuan Je
sangat baik, akan tetapi sayangnya hal ini sudah berjalan dan bahkan KOMAHI
tidak seeksklusif yang Je bayangkan. Di kepengurusan tahun ini, KOMAHI berhasil
bekerjasama dengan beberapa HMD atau UKM di FISIPOL: IRCCT dengan Tema Kereta
Cepat mengundang Obed Kresna yang tahun ini juga menjabat Presiden KOMAP; Movie
Week mengundang CEARS untuk memberi insight
mengenai film Letters from Iwo Jima;
beberapa screening HI CINE
dilaksanakan dalam kerjasama dengan KOMAKO; pelatihan film HI CINE mengundang
FIAGRA dari Fakultas Teknik; Studi Banding INKOM dilaksanakan di antaranya
bersama KOMAP dan GAMAPI; dan yang terakhir INKA mencoba bekerjasama dengan
KOMAP untuk membentuk suatu proker yang sayangnya kemudian gagal. Intinya, ide
ini tidaklah baru dan daripada merevitalisasi, seharusnya Je mengusulkan
keberlanjutan. Hal yang aku sayangkan. Sebagai calon ketua KOMAHI seharusnya
dia mengetahui hal ini dan mengkritik pelaksanaannya. Jadi, sebenarnya kita
tidak begitu ‘di atas angin,’ melainkan sudah berpijak di tanah.
Ketiga, Je mengangkat aspek Partisipasi
Anggota KOMAHI. Dia menegaskan bahwa program KOMAHI seharusnya disesuaikan
dengan demand anggota KOMAHI sebagai
konstituennya sehingga partisipasi anggota bisa meningkat. Dalam salah satu
videonya yang bertajuk “Mengapa KOMAHI tidak berpengaruh padaku sebagai
Mahasiswa HI,” Je menegaskan hal ini. Baginya, hal ini
terjai karena KOMAHI belum dapat menyesuaikan programnya dengan demand anggotanya. Dalam video itu, dia
memberi contoh (‘misalnya’) IRCCT. Bagi Je, sebelum melaksanakan diskusi IRCCT
seharusnya KOMAHI atau INKA melakukan survey terlebih dahulu topik apa yang mau
dibahas oleh anggota KOMAHI. Dengan demikian, jika KOMAHI dapat menuruti demand tersebut, partisipasi anggota
akan meningkat. Nah, bagi kalian terutama angkatan 2016, contoh ini, sekalipun
contoh, bisa dibilang sah-sah saja. Bagiku, ini sebuah blunder: mengapa harus
IRCCT yang dijadikan contoh? IRCCT adalah salah satu proker yang program officer –nya paling rajin
membuat survey terutama saat tidak ada isu hangat di suatu periode. Nah,
kebiasaan membuat survey ini sudah dilaksanakan sejak dua atau tiga tahun lalu.
Departemen lain pun mengikuti, misalnya DEPOR yang waktu itu hendak mengadakan
Systema (dibatalkan karena peminat sedikit), kemudian INKOM mengenai tujuan HI
Visit. Sekali lagi aku menyayangkan ketidaktahuan tim kampanye Je pada aktvitas
KOMAHI selama ini. Padahal banyak dari mereka yang cukup aktif di departemen yang
mengadakan program-program tersebut. Ya, seharusnya Je dan tim kampanyenya
tahu.
Pada titik ini, aku menilai bahwa materi kampanye
Je sebenarnya jauh lebih komprehensif dan kompleks daripada Lukas. Sangat banyak
tantangan yang harus dihadapi Je untuk membawa apa yang ia sebut perubahan. Tapi
perubahan yang seperti apa? Perubahan yang bagaimana? Konsep-konsep dasar yang
ia usulkan memang baik, tapi beberapa hal yang sifatnya lebih practical hanya berlaku buat mereka yang
belum tahu apa yang sudah dilakukan KOMAHI. Nyatanya apa yang Je sebut sebagai change sudah pernah dilakukan KOMAHI
sebelumnya.
Yang dikatakan Eghi di video kampanye Je memang
benar.
Karena
cinta aja nggak cukup. To make a change, you have to
know what needs to change.
Jadi, PR Je yang terbesar adalah
mengidentifikasikan perubahan apa yang sebenarnya ia inginkan. Apa yang dia
sebut perubahan sayangnya buat aku malah tampak sebagai ketidaktahuannya. Ini
juga menjadi tugas Bima, Eghi, Arum, dan segenap tim kampanyenya yang sudah berkecmpung
di KOMAHI juga.
Tambahan PR untuk Bima sebagai ketua
angkatan. Tidak salah tentunya menjadi bagian dari tim kampanye Je. Secara
kebiasaan, ketua angkatan biasanya mengambil posisi netral selama kampanye. Setidaknya
sejak angkatan 2013. Oleh karena itu, setelah hasil pemilihan keluar, Bima
harus dapat memastikan angkatannya dapat menerima hasil tersebut dengan lapang
dada. Sungguh, tidak apa-apa memihak Je. Tetapi Bima harus mengetahui tugas
moralnya sebagai ketua angkatan. Butuh kedewasaan juga dari kedua tim sukses
untuk menerima hasil suksesi nantinya.
Hal yang sama berlaku buat Fakhri sebagai
ketua angkatan 2016. Dia harus dapat memastkan apapun hasilnya, kontribusi
angkatan 2016 ke KOMAHI tidak berkurang. Begitu juga untuk tahun 2018 saat
angkatannya harus menjadi pengurus inti KOMAHI, kecuali Coory mau mencalonkan
diri.
Kontribusi
Isu selanjutnya yang penting adalah
kontribusi Je dan Lukas. Je aktif di beberapa proker KOMAHI. Baru-baru ini di
paruh kedua kepengurusan tahun ini dia mengikuti kegiatan diplomatic affairs KOMAHI baik di rapat kordinasi wilayah IV daerah
Jateng dan DIY, kemudian dia terlibat dalam Journalistic
Team INKA untuk majalah Airport, HIKustik sebagai pemusik, dan lain-lain.
Sebagai anggota, Je juga berhasil memimpin makrab yang sedemikian rupa sehingga
dapat mendekatkan angkatan 2016 dengan 2015. Kontribusi ini sangat baik dan
harus diperhitungkan. Je sendiri berhasil mengikuti berbagai proker dari
departemen/BSO yang berbeda. Dia juga terlibat dalam GAMA DC, di European
Parliament. Jadi, Je sebenarnya sudah berkontribusi dalam proker-proker KOMAHI.
Hal yang membedakannya dengan Lukas adalah tingkat engagement-nya di departemennya (INKOM, Diplomatic Affairs) yang mungkin tidak sedalam Lukas di INKA maupun
HI-CINE. But of course it does not make Je less than Lukas. Hanya saja, terdapat
dampak yang paling jelas: Je sebenarnya masih belum begitu familiar dengan
proker-proker KOMAHI karena kesempatannya di INKOM yang terbilang recent. Namun, Lukas gagal mengambil
keuntungan dari keadaan ini. Branding Lukas
malah tidak memaparkan pengertiannya mengenai proker KOMAHI. Nah, keadaan ini
malah membuat aku ragu, apakah Lukas yang tinggi engagement-nya di INKA dan HI CINE sudah benar-benar mengerti
tentang proker KOMAHI? Mungkin tidak, mungkin iya.
Satu lagi hal yang sejak awal gagal diidentifikasi oleh kedua calon. Proker KOMAHI yang cenderung sepi mungkin bukan karena kurang selarasnya demand anggota dengan proker KOMAHI, tapi karena simply KOMAHI tidak mendapatkan perhatian dari para anggotanya. Wajar memang karena tiap orang punya kesibukan masing-masing. Tapi ada sesuatu yang membuat KOMAHI tidak diperhatikan oleh anggotanya sendiri, entah apa itu. Oleh karena itu, kalau tahun ini angkatan 2016 terlihat lebih antusias (magang diikuti lebih dari 80 orang, pendaftar lebih dar 75 orang), aku rasa Lukas atau Je, siapapun yang terpilih, boleh berterima kasih terhadap pelaksana program Rumah HI, 26 Agustusan, dan juga, yang paling penting, para dosen dari Departemen Ilmu HI yang dengan tanggap langsung turun ke lapangan mendekatkan diri dengan mahasiswa baru, making them feel at home. Ini menjadi modal yang baik buat KOMAHI ke depan, and they need to make the best out of it.
Oke, kalian boleh menilai mungkin kritikku
terhadap Je lebih berat daripada Lukas, atau bahkan kalian juga menilai aku condong
ke salah satu calon. Tapi ya sudah wajar kan kalau kritikku lebih berat sebelah?
Aku nggak akan bisa memberikan review 1000 kata dari bacaan yang cuma 1
paragraf kecuali aku mahasiswa sastra atau seni.
Aku harap tulisan ini bisa membantu kalian
sedikit banyak untuk memahami kedua calon, mengevaluasi mereka, dan akhirnya
menentukan siapa yang pantas menjadi ketua KOMAHI. Untuk kedua calon, aku harap ini bisa menjadi evaluasi bagi kalian untuk menanggapi massa yang tidak datang ke kampanye langsung dan dialog-dialog kalian. Aku sendiri masih harus
menunggu debat. Kalau kalian sudah menentukan pilihan, ujilah pilihan kalian di
debat. Kalau kalian belum memilih, pastikan kalian datang ke debat untuk
menghakimi mereka dan menentukan pilihan. Kalau belum, cobalah sholat istiqarah
atau doa Rosario atau meditasi.
Masih ada waktu sampai tanggal 24 November.
Kalau belum juga…. kancing baju masih bisa membantu.
Enggak deng. Tegaslah pada diri sendiri,
tentukan pilihanmu!
Bukan KOMAHInya Je, bukan KOMAHInya Lukas.
Ini KOMAHI kita.